ikl Tanya Kiyai: Mandi Wajib Lalu Shalat Tanpa Wudhu? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Kiyai: Mandi Wajib Lalu Shalat Tanpa Wudhu?

Share it:

Tanya Kiyai: Mandi Wajib Lalu Shalat Tanpa Wudhu?


Pertanyaan (Supri bukan nama sebenarnya): 
Saya biasanya kalau mandi tiap hari selalu berniat mandi wajib, meskipun tidak punya hadats besar. Apakah setelah mandi wajib tersebut bisa digunakan untuk langsung shalat wajib tanpa perlu wudhu lagi? Setahu saya untuk menghilangkan hadats kecil itu dengan wudhu, sedangkan untuk hadats besar harus dengan mandi wajib.
Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):
Sahabat KESAN yang budiman, jika seseorang memiliki hadats kecil, maka cara menyucikannya adalah dengan berwudhu. Dan jika seseorang memiliki hadats besar, maka cara menyucikannya adalah dengan mandi wajib. 
Jika seseorang mempunyai dua hadats yaitu hadats kecil dan hadats besar, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila ia mandi wajib tanpa berwudhu, maka itu bisa menyucikan kedua hadats tersebut sekaligus. 
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi:
إِذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلْفْ مَقْصُودُهُمَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الآخَرِ غَالِبًا
Jika dua perkara dari satu jenis berkumpul sedangkan maksud dari keduanya itu tidak berbeda, maka biasanya salah satunya masuk ke dalam lainnya.
Masalah tersebut termaktub di dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazha’ir karyaJalaluddin As-Suyuthi dan Al-Asybah wa An-Nazha’ir ‘ala Madzhab Abi Hanifahkarya Ibn Najim.
Di antara penerapan kaidah ini adalah jika seseorang memiliki hadats kecil dan hadats besar, baik terjadinya hadats kecil itu mendahului hadats besar ataupun sebaliknya, maka ia cukup mandi wajib dengan niat menghilangkan hadats besar. Dengan demikian, hadats kecilnya hilang dengan sendirinya, meskipun tidak terjadi tertib (berurutan) dalam membasuh anggota wudhu. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Taimiyah dari kalangan mazhab Hanbali.
Hanya saja bagaimana hukumnya bila seseorang mandi dengan niat mandi wajib padahal tidak ada hadats besar?
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: 




وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ
Jika kamu junub, maka mandilah (QS. Al-Maidah [5]: 6).
Ayat di atas jelas menyebutkan bahwa (keadaan) junublah yang menyebabkan seseorang harus mandi wajib atau besar. Dengan demikian, seseorang disebut mandi wajib tatkala ia memang sedang dalam kondisi junub (berhadats besar).
Oleh karena itu, mandi yang dilakukan tidak dalam kondisi junub atau hadats besar meski diniatkan untuk mandi wajib maka hukumnya tidak sah. Karena di antara syaratnya suatu niat adalah kepastian. 
Jika seseorang ragu-ragu apakah ia mempunyai hadats besar atau tidak lalu ia mandi wajib, maka mandinya tidak sah. Apalagi jika ia yakin bahwa ia tidak memiliki hadats besar lalu mandi dengan niat menghilangkan hadats besar, maka hal tersebut tidak sah, karena mandi wajib adalah ibadah. 
Taqiyuddin Al-Husaini berkata:
شَرْطُ النِّيَّةِ الْجَزْمُ فَلَوْ شَكَّ فِي أنَّهُ مُحْدِثٌ فَتَوَضَّأَ مُحْتَاطًا ثُمَّ تَيَقَّنَ أنّهُ مُحْدِثٌ لَمْ يُعْتَدَّ بِوُضُوئِهِ عَلَى الأصَحِّ لِأنَّهُ تَوَضَّأَ مُتَرَدِّدًأ
Syarat niat adalah kepastian, jika seseorang ragu-ragu apakah ia berhadats lalu ia wudhu sebagai sikap hati-hati, kemudian ia yakin (setelah wudhu) bahwasanya ia berhadats, maka wudhunya tidak diperhitungkan menurut pendapat yang paling kuat, karena ia berwudhu dalam keadaan ragu-ragu.
Para ulama sepakat mensyaratkan kepastian dalam niat.
Sahabat KESAN yang budiman, jika seseorang mempunyai dua hadats yaitu hadats kecil dan hadats besar, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila ia mandi wajib tanpa melakukan wudhu, maka mandi wajib tersebut bisa menyucikan kedua hadats (besar dan kecil) tersebut sekaligus. 
Namun, jika seseorang mandi dengan niat mandi wajib padahal tidak ada hadats besar besar pada dirinya, maka mandi wajibnya tidak sah. Meskipun ia telah mandi wajib (tanpa hadats), maka mandi tersebut tidak bisa digunakan untuk menggantikan wudhu dan saudara tidak bisa langsung melaksanakan shalat wajib tanpa perlu wudhu. 
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Al-Asybah wa An-Nazha’ir‘ala Madzhab Abi Hanifah; Ibn Najim, Al-Asybah wa An-Nazha’ir; Jalaluddin As-Suyuthi, Kifayah Al-Akhyar; Taqiyuddin Al-Husaini.
*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Share it:

Hukum

Islam

Tanya Jawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching