ikl Tanya Nyai: Ditalak Suami yang “Murtad”? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Nyai: Ditalak Suami yang “Murtad”?

Share it:

Tanya Nyai: Ditalak Suami yang “Murtad”?Pertanyaan (Tini, bukan nama sebenarnya):

Suami saya seorang mualaf. Tapi keinginan untuk belajar agama Islam sepertinya tidak ada. Dan akhir-akhir ini sering marah, memukul, dan menganiaya saya. Bahkan dia pernah bilang kalau dia tidak lagi beragama Islam. Tidak hanya itu, ia juga pernah bilang, kalau mulai Subuh (saat itu), saya bukan istrinya lagi. Bagaimana hukumnya menurut Islam kalau suami sudah mengucap seperti itu? Sepertinya, saya juga sudah tidak mau lagi dengannya disebabkan banyak hal, terutama aqidahnya.
Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah):
Sahabat yang budiman, kami ikut prihatin dengan ujian dan musibah yang Sahabat alami dan berdoa untuk kebaikan Sahabat. 
Terkait dengan pertanyaan Sahabat, ada dua konsekuensi besar yang perlu kita bahas. 
Pertama, ucapan suami yang mengarah kepada riddah (keluar dari agama Islam).
Kedua, ucapannya yang mengarah kepada thalaq (cerai).
Untuk kasus pertama, di sini kita perlu melihat persoalan secara komprehensif (menyeluruh). Pemberian vonis kafir atau murtad (keluar dari Islam) merupakan persoalan yang harus disikapi secara hati-hati dalam Islam. Ulama Hanafitermasuk kalangan yang paling longgar/lentur membatasi hal tersebut, dengan membuat kriteria tertentu agar seseorang tidak mudah dikafirkan. 
Para ulama Hanafi berpendapat bahwa apabila ada seseorang sangat berpotensi dinyatakan murtad karena terdapat tanda-tanda yang menunjukkan pada kekafirannya, tapi di sisi lain jika masih ada satu hal (sikap/prilaku) yang membuatnya masih tetap (menunjukkan dia) dalam agama Islam, maka orang ini tidak bisa dinyatakan murtad.



Para ulama Hanafi mengatakan:
إِذِ الْإِسْلَامُ الثَّابِتُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Karena Islam yang sudah tetap tidak bisa hilang disebabkan keraguan
Sederhananya, untuk menyematkan status murtad pada seseorang ada dua indikator yang perlu dikumpulkan untuk sampai pada justifikasi tersebut
Indikator tersebut adalah:



Pertama, adanya indikasi yang mendukung kekafirannya. Sebagai indikator pendukung kekafirannya, misalnya, ia terlihat mengikuti kegiatan agama lain.
Kedua, adanya indikasi yang menolak kekafirannya. Sebagai indikator penolak kekafirannya, misalnya, ia sesekali terlihat masih melakukan shalat atau membaca-baca Al-Qur’an. 
Selama masih tampak tanda-tanda keislaman padanya, walau cuma satu hal, maka ia belum bisa dihukumi murtad. Sebaliknya, bila ada indikasi kuat atas kekafirannya dan tak ada lagi perilaku yang menunjukkan tanda-tanda identitas keislamannya, ia telah layak disebut murtad.
Selanjutnya, untuk kasus kedua, terkait ucapan yang mengarah kepada talak (cerai). Pertama-tama, harus dipahami bahwa terdapat konsekuensi hukum pada akad nikah yang dilakukan seseorang, kemudian orang tersebut telah dinyatakan murtad. Menurut ulama Hanafi dan Maliki, apabila ada salah seorang dari suami atau istri telah dinyatakan keluar dari Islam (murtad), akad nikahnya terputus saat itu juga. 
Mengenai status terputusnya akad nikah ini, ulama Hanafi menjelaskan bahwa putusnya ini tidak termasuk dalam kategori thalaq. Dengan demikian, bila orang yang murtad tersebut kembali masuk Islam, ia cukup melakukan tajdid nikah(pembaharuan akad nikah) dan tak mengurangi konsekuensi hukum apa pun dari pernikahannya tersebut. Sementara menurut ulama Maliki, terputusnya akad nikah termasuk sebagai satu hitungan thalaq
Adapun ulama Syafii dan Hanbali memberikan tafshil (perincian) berkenaan dengan kepastian hukum nikahnya ini. Jika orang tersebut murtad dalam keadaan qabla dukhul (belum pernah berhubungan intim sama sekali selama menikah), akad nikahnya terputus saat itu juga. 



Namun, jika orang tersebut murtad dalam keadaan bakda dukhul (sudah pernah melakukan hubungan intim selama menikah), akad nikahnya mauquf(ditangguhkan), sampai sang istri selesai masa iddah (masa tunggu bagi perempuan setelah cerai untuk dapat kembali dinikahi secara sah)-nya selama tiga kali sucian haid. Jika suami kembali memeluk agama Islam dalam masa iddah tersebut, akad nikahnya kembali seperti semula. Namun, jika ia tetap dalam kekafirannya, jatuhlah thalaq ba’in alias talak tiga yang tak dibolehkan rujuk (menikahi kembali mantan istrinya) kecuali adanya muhallil (laki-laki lain yang menikahi mantan istrinya kemudian mereka bercerai).
Nah terkait kasus di atas, ucapan suami yang menyatakan bahwa dirinya “tidak lagi Islam” perlu diperkuat dengan adanya indikator pendukung atau penolak lain yang menguatkan apakah ia murtad atau tidak, selain hanya berupa alasan kemalasan untuk mempelajari agama Islam dalam statusnya sebagai seorang mualaf. Hal ini perlu dipertegas sebelum memastikan status kemurtadannya.
Talak Suami dalam Kondisi Marah
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا طَلَاقَ وَلَا عَتَاقَ فِي إِغْلَاقٍ
Tidak ada talak dan tidak pula pembebasan (budak) dalam keadaan ighlaq (HR. Ibnu Majah no. 2046).
Syeikh Muhammad Fawaid Abdul Baqi menjelaskan bahwa sebagian ulama memaknai ighlaq di sini berarti “dalam keadaan marah” dan sebagian lain mengartikan “dalam keadaan terpaksa”. 
Adapun Imam Nawawi dan Syeikh Zainuddin Al-Malibari, ulama Syafii, menyatakan bahwa kalimat talak yang diucapkan dalam kondisi marah dapat menjatuhkan hukum talak. Terlebih ucapan talak yang disertai dengan tindakan kekerasan yang terkadang dilakukan kepada istri, sebagaimana dalam kasus ini. Tindakan tersebut mengindikasikan adanya keinginan yang kuat untuk berpisah dan hilangnya rasa welas asih yang menjadi ruh dalam sebuah pernikahan.
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziy menjelaskan, jika diyakini bahwa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan berulang kali tersebut dilakukan dengan kesadaran penuh, mayoritas ulama sepakat bahwa hukum talaknya dianggap sah
Sahabat yang budiman, sesungguhnya seorang istri dibolehkan untuk melakukan khulu’ (gugat cerai) saat ia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangganya. 
Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً»
Sesunguhnya istri Tsabit bin Qais mendatangi Rasulallah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulallah, Tsabit bin Qais, sesungguhnya aku tak mencelanya dari segi akhlak dan agama, namun aku membenci kekafiran dalam Islam.” Kemudian Rasulullah ﷺ menjawab, “Apakah kau mengembalikan kebunnya?” Ia menjawab, “Iya”. Rasulullah ﷺ bersabda, “Terimalah olehmu (Tsabit bin Qais) kebun tersebut dan talaklah ia dengan satu kali talak.” (HR. Bukhari no. 5273)
Dalam riwayat An-Nasa’i dan Abi Dawud, istri Tsabit yang bernama Habibah binti Suhail tersebut mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, ini membuatnya tidak mampu lagi bertahan sebagai seorang istri dalam hubungan pernikahan tersebut dan meminta cerai atas Tsabit kepada Rasulullah ﷺ.
Wallahu a’lam bi ash-shawabi
Referensi: Al-Um li As-Syafi’iy, 6/183; Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, 16/316; Bada’iu AS-Shana’i, 2/337; ‘Uyunu Al-Masa’il, 318; Al-Mughniy, 7/173; Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, 9/586; Al-Mausu’atu Al-Fiqhiyyatu Al-Kuwaitiyyah, 12/191 ; Sunanu Ibnu Majah, 1/660; Shahihu Al-Bukhari, 7/46; Dzakhiratu Al-‘Uqba fi Syarhi Al-Mujtaba, 29/90.




*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
x
Share it:

Hukum

Islam

Tanya Jawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching