Al-Maliki Rahimahullah bercerita : "Muhamad bin Sahnun memiliki seorang budak yang bernama Ummu Madam. Suatu hari ia bersamanya, dan dia sangat sibuk menulis sebuah kitab hingga malam hari. Budak tersebut membawakan kepadanya makanan dan meminta beliau untuk makan. Beliau berkata kepada budaknya : "Saat ini saya masih sibuk" Setelah lama menunggu, budak tersebut menyuapkan nya sambil ia terus menulis hingga adzan shalat subuh tiba. Beliau berkata kepada budaknya : "Saya sudah merepotkan dirimu malam ini wahai Ummu Madam. Bawa kemari makanan yang telah anda siapkan tadi." Budaknya berkata : "Demi Allah, wahai tuan ku. Saya telah menyuapkan anda semalam." Ia berkata kepadanya : "Saya sama sekali tidak merasakan hal itu." [Tartibul Madarik (3/114), Qadhi Iyadh]
MEMBACA BANYAK REFERENSI
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah bercerita : "Terkadang untuk mempelajari tafsir satu ayat, saya membaca seratus kitab tafsir, namun belum juga dapat memahaminya. Saya meminta kepada Allah Subhanahu wa ta'ala kepahaman dengan berdoa : "Wahai gurunya Nabi Adam dan Nabi Ibrahim )yakni Allah Subhanahu wa ta'ala(, ajarilah aku." Saya mendatangi masjid yang kosong dan menyungkurkan wajah saya ke tanah dan bersujud kepada Allah sambil berdoa : "Wahai gurunya Nabi Adam dan Nabi Ibrahim, ajarilah aku." [Tafsir Surat Al-Ikhlas karya Ibnu Taimiyah]
MENUNGGU BANGUN TIDUR
Urwah bin Zubair Rahimahullah bercerita : "Saya diberitahu ada seorang dari Muhajirin yang mempunyai hadits. Saya mendatanginya dan mendapatkan nya sedang tidur siang. Saya duduk didepan pintunya untuk bertanya kepadanya ketika ia keluar dari rumahnya." [Tarikh Islam )4/32(, Adz-Dzahabi]
BANYAK KITAB
Ibnu Khalqan Rahimahullah bercerita : Imam Muhammad Ibnu Syihab Az- Zuhri, seorang toko ulama besar dalam ilmu hadits, apabila beliau duduk dirumahnya ia menaruh kitab-kitabnya disampingnya. Beliau membacanya, sehingga ia tidak lagi memperhatikan semua urusan dunia nya. Suatu hari isterinya berkata : "Demi Allah, Kitab-kitab nya ini lebih
berat bagi saya dari tiga orang isterinya yang lain." [Wafiyatul A'yan (3/317), Ibnu Khalqan]
PERTEMUAN ANAK DAN AYAH
Abdullah bin Qasim Al-Atqi Rahimahullah menikah dengan putri paman nya. Disaat isterinya hamil, ia ingin pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah. Dia berniat tinggal bersama Imam Malik dalam waktu yang lama agar bisa belajar darinya. Ia memberitahukan hal tersebut kepada isterinya. Agar tidak menzalimi isterinya, ia menyuruh isterinya memilih antara dicerai agar bisa menikah dengan laki-laki lain yang dia inginkan atau ia menunggu kepulangan nya dalam waktu yang hanya Allah yang mengetahuinya. Isterinya memilih untuk tetap menjadi isterinya. Ia meninggalkan harta sekedarnya untuk isterinya. Kemudian pergi menuju Madinah meninggalkan isterinya yang sedang hamil. Beliau tinggal bersama Imam Malik selama tujuh belas tahun dan tidak lagi mengetahui berita tentang isteri dan anaknya.
Abdullah bin Qasim bercerita : "Saya tinggal bersama Imam Malik selama tujuh belas tahun. Saya tidak pernah menjual dan membeli sesuatu. Suatu hari, rombongan haji datang dari Mesir. Diantara mereka ada seorang pemuda yang bersorban dan masuk menemui kami di Masjid. Dia mengucapkan salam kepada Imam Malik dan bertanya : "Apakah diantara anda ada Abdullah bin Qashim?" Orang-orang menunjuk ke arah saya. Dia segera mencium antara dua mata saya dan saya mendapatkan aroma yang sangat harum yaitu aroma seorang anak. Ternyata dialah putera saya yang dulu saya tinggalkan dalam kadungan ibunya. Ia telah dewasa dan sudah menjadi seorang pemuda." [Tartibul Madarik (3/250), Qadhi Iyadh]
TIDAK MAU MENJUAL KITAB
Imam Ibrahim Al-Harbi Rahimahullah bercerita : "Suatu hari saya mengalami krisis keuangan hingga tidak ada lagi makanan untuk keluarga saya. Isteri saya berkata : "Saya dan anda bisa bersabar untuk lapar. Tetapi dua anak ini tidak akan bisa bersabar seperti kita. Berikan saya sebagian kitabmu, untuk saya jual atau saya gadaikan dan kita bisa membeli makanan." Saya menolaknya dan tidak ingin kitab saya dijual. Saya berkata kepadanya : "Berhutanglah untuk mereka berdua makanan, dan
tangguhkanlah pembayaran nya beberapa hari atau malam. Semoga Allah memberikan kemudahan dari-Nya."
Suatu malam, ketika saya berada didalam kamar untuk membaca dan menulis, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Saya berkata : "Siapa itu?" Ia menjawab : "Salah seorang tetanggamu." Saya menyuruhnya untuk masuk. Ia berkata : "Matikan lampu agar saya masuk." Saya matikan lampu kemudin dia masuk dan menaruh satu karung besar dan berkata kepada saya : "Saya sudah membuat makanan untuk anak-anak saya, dan saya ingin kamu dan anak mu juga mendapatkan bagian darinya. Dan yang lain saya letakkan disamping karung besar, pergunakanlah untuk mencukupi kebutuhan mu." Ia pergi dan saya tidak pernah mengetahui siapa orang itu.
Saya memanggil isteri saya dan menyuruhnya untuk menyalakan lampu. Dia menyalakan nya dan kami mendapatkan karung besar yang didalamnya ada limapuluh bungkus berisi berbagai macam makanan. Disamping kantung besar terdapat kantung berisi 1000 dinar. Saya berkata kepada isteri saya : "Bagunkan anak- anak agar makanan dan bayarlah hutang dengan dinar-dinar tersebut." [Tarikh Baghdad (6/31), Khatib Al- Baghdadi]
Imam Ibnu Jauzi Rahimahullah bercerita : "Ketahuilah wahai puteraku, sesungguhnya ayahku dahulunya kaya dan meninggalkan ribuan dirham. Ketika saya dewasa, ia memberi saya dua puluh dinar dan dua rumah seraya berkata kepada saya : "Inilah warisan semuanya" saya mengambil dinar tersebut untuk membeli kitab-kitab para ulama. Saya menjual kedua rumah tersebut dan saya gunakan untuk biaya belajar, sehingga tidak ada lagi harta yang tersisa buat saya." [Lathaiful Kabid fi Nasihatil Walad, Ibnu Jauzi]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menyebutkan : "Ayah Yahya bin Ma'in Rahimahullah adalah seorang seketaris Abdullah bin Malik. Ketika wafat beliau meninggalkan (harta warisan) untuk Yahya Rahimahullah 1.500.000 dirham. Yahya membelanjakan seluruh nya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa sampai sandal yang bisa dipakai )untuk berjalan(." [Tahdzibut Tahdzib (11/282), Ibnu Hajar
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar