Makna dan Batasan Taat Kepada Ulil Amri
Oleh: Ahmad Baedowi, M.Si (Dosen Agama Islam Universitas Indonesia),Buletin Jumat Risalah
Pemimpin atau penguasa mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia dalam syariat Islam. Hal ini berkaitan dengan tinggi tugas dan besarnya tanggung jawab serta beratnya beban yang mereka pikul, menjaga agama dan mengatur dunia sebagai pengganti tugas kenabian.
Kedudukan dan derajat yang tinggi diberikan kepada mereka sebagai hikmah dan maslahat yang harus direalisasikan, sehingga tidak timbul kekacauan, kerusakan dan musibah-musibah yang menyebabkan hilangnya kebaikan-kebaikan dan rusaknya agama dan dunia.
Di antara dalil yang menunjukkan tingginya kedudukan pemimpin dalam syariat Islam adalah Allah mengandengkan kata ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya dengan ketaatan kepada penguasa sebagaimana firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ - ٥٩
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa [4]: 59).
Mendiskusikan tentang siapa, apa, dan bagaimana sebenarnya ulil al-amrimerupakan masalah yang selalu menarik dan tidak habis-habisnya, dari dahulu hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat bagaimana mulai organisasi Islam, perguruan tinggi, lembaga kajian Islam dan lain sebagainya berulang kali melakukan diskusi, seminar dan kajian yang mendalam tentang ulil al-amri.
Secara bahasa Ulīl adalah bentuk jamak dari wali yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak. Sedangkan kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian Ulil Amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam urusan kemasyarakatan (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. 2, hlm. 460).
Dalam Tafsir At-Thabari disebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Sekelompok ulama lain menyebutkan, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqih). Sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud ulil amri adalah sahabat-sahabat Rasulullah. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah hanya Abu Bakar dan Umar.
Imam Al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat ulul amri pada QS. An-Nisa [4]:59.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa [4]: 59)
Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan).
Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapatJabir bin Abdullah, Al-Hasan, Atha, dan Abi Al-Aliyah.
Ketiga, Pendapat yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ.
Keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar (Tafsir Al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500).
Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma‘rifah atau definit memiliki wewenang kekuasaan yang terbatas hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan akidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan pemahaman nash-nashagama, diselesaikan dengan menggunakan kaidah-kaidah perbedaan pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dalam persoalan pemahaman terhadap nash, karena hal itu bukan wilayah kewenangannya. Tetapi jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan kemasyarakatan yang bersifat ijtihadiyah, maka pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.
Siapa pun yang masuk kategori ulil amri dalam wewenang terbatas sesuai dengan fungsi dan kompetensi masing-masing wajib melaksanakan tugasnya dengan jujur, amanah, adil, bertanggung jawab dan sifat-sifat baik lainnya yang relevan dengan kondisi masyarakatnya. Kepemimpinan ulil amri tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Kepatuhan kepada ulil amribersifat relatif, tergantung sejauh mana ulil amri patuh pada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam nash Al-Qur’an kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri. Namun perlu dipahami bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata “taat” sebagaimana kata “taat” yang digandengkan dengan Allah dan Rasul. Dalam hadis disebutkan:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Mendengar dan taat adalah kewajiban setiap muslim, (baik perintah yang diberikan oleh penguasa) adalah hal-hal yang dia sukai atau dia benci, selama penguasa tersebut tidak memerintahkan maksiat. Jika penguasa tersebut memerintahkan maksiat, maka tidak ada (kewajiban) mendengar dan taat (HR. Bukhari no. 7144).
Muhammad Quraish Shihab, menjelaskan bahwa “Tidak disebutkannya kata ‘taat’ pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan tersebut tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka.
Dalam kaidah lain yang sangat populer yaitu: La thaat li makhluqin fi ma’shiyat al-Khaliq. Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah). Hal inilah yang menjadi batasan kita taat kepada ulil amri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Referensi: Shihab, M. Quraish, 2000, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Aṭ-Ṭabarī, Abū Ja‘far Muhammad Ibn Jarīr, 1988, Jāmi‘ Al-Bayān ‘An Ta’wīl Āyi Al-Qur’ān, Beirut: Dār Al-Fikr.
###
*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar