ikl Tanya Kiai: Jasa Titip Beli Barang? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Kiai: Jasa Titip Beli Barang?

Share it:

Pertanyaan (Arimbo, bukan nama sebenarnya):

Bagaimana hukumnya kita melakukan jasa titip (jastip) barang? Misalnya, ada seseorang ingin membeli sebuah handphone, lalu kita mencarikan handphone tersebut. Setelah mendapatkan handphone tersebut, bolehkah kita menambahkan harga barang tersebut untuk menjadi upah kita, tanpa menyebutkan harga yang sebenarnya dari barang tersebut kepada yang nitip?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Dalam fikih tentang jual-beli ada salah satu transaksi jual beli yang dinamakan dengan murabahah, yaitu menjual barang kepada orang lain dengan menyebutkan harga modal dan laba yang diambil. Misalnya seorang penjual berkata, “Aku jual handphone ini kepadamu seharga Rp. 2.100.000 (dua juta seratus ribu rupiah), di mana aku membelinya seharga Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) dan untuk labaku Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah).” 

Akad yang umum digunakan oleh lembaga-lembaga keuangan syari’ah di Indonesia adalah akad murabahah. Jika kita menghendaki kredit laptop, misalnya, melalui lembaga keuangan syari’ah, maka lembaga keuangan tersebut akan membelikan laptop sesuai yang telah kita tentukan. Setelah ia membelinya, ia menjualnya secara kredit kepada kita dengan akad murabahah, di mana ia menyebutkan harga modal dan laba yang ingin ia dapatkan.

Ulama fikih Imam Al-Mawardi berkata:

وَأَمَّا بَيْعُ الْمُرَابَحَةِ فَصُورَتُهُ أَنْ يَقُولَ أَبِيعُكَ هَذَا الثَّوْبَ مُرَابَحَةً عَلَى أَنَّ الشِّرَاءَ مِائَةُ دِرْهَمٍ وَأَرْبَحُ فِي كُلِّ عَشْرَةٍ واحد فَهَذَا بَيْعٌ جَائِزٌ لَا يُكْرَهُ

Adapun jual beli murabahah, maka bentuknya adalah seseorang berkata, “Aku menjual kepadamu baju ini dengan murabahah, bahwa harga belinya seratus dirham dan aku untung satu dirham dalam setiap sepuluh dirham.” Ini adalah jual beli yang boleh dan tidak dimakruhkan.

Dalil sah dan bolehnya jual beli murabahah adalah firman Allah:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah [2]: 275)

Jual beli dalam ayat di atas adalah umum sehingga termasuk murabahah. Selain itu harga dalam akad murabahah juga diketahui dengan jelas. Dalam contoh di atas, dua juta rupiah sebagai harga modal disebut dengan ra’sul mal. Sedangkan seratus ribu rupiah adalah labanya (ribh).

Dalam akad murabahahra’sul mal harus diketahui oleh penjual dan pembeli. Jika pembeli tidak mengetahuinya, maka akadnya tidak sah. Ulama fikih mazhab Syafii Imam An-Nawawi berkata:

يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ رَأْسُ الْمَالِ أَوْ مَا قَامَتْ بِهِ السِّلْعَةُ،مَعْلُومًا عِنْدَ الْمُتَبَايِعَيْنِ مُرَابَحَةً. فَإِنْ جَهِلَهُ أَحَدُهُمَا لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ عَلَى الْأَصَحِّ كَغَيْرِ الْمُرَابَحَةِ

Ra’sul mal atau sesuatu yang komoditas berada di dalamnya harus diketahui oleh penjual dan pembeli secara murabahah. Jika salah satu dari mereka berdua tidak mengetahuinya, maka akadnya tidak sah menurut pendapat yang paling kuat sebagaimana selain murabahah.

Disyaratkan adanya kata “murabahah” yang diucapkan ketika transaksi. Jika penjual berkata, “Aku membelinya seratus ribu, dan menjualnya kepadamu seratus lima puluh ribu” tanpa ada kata “secara murabahah”, maka sah sebagai jual beli biasa meskipun ia berbohong. 

Prinsip akad murabahah adalah amanah yang mengandalkan kejujuran dari penjual. Oleh karena itu, penjual harus jujur dalam menginformasikan harga modal (ra’sul mal).

Imam An-Nawawi berkata:

بَيْعُ الْمُرَابَحَةِ مَبْنِيٌّ عَلَى الْأَمَانَةِ، فَعَلَى الْبَائِعِ الصِّدْقُ فِي الْإِخْبَارِ عَمَّا اشْتَرَى بِهِ

Jual beli murabahah dibangun di atas kepercayaan, maka bagi penjual harus jujur dalam memberitahukan tentang sesuatu yang ia membeli dengannya.

Jika akad jual beli tidak menyebutkan ra’sul mal dan laba, maka disebut dengan musawamah. Jual beli ini umum berlaku dalam akad jual beli kita sehari-hari. Dalam jual beli musawamah, penjual boleh menjual barangnya dengan harga berapa pun selama disetujui oleh pembeli secara suka sama suka, bukan karena dipaksa. 

Jika si A menitipkan kepada si B untuk membelikan handphone, tetapi si A tidak memberikan uangnya. Uang yang digunakan untuk membeli handphone adalah uang si B. Setelah si B membeli handphone, ia menjualnya ke si A dengan harga lebih mahal dari harga modal, maka itu boleh dan sah dengan akad musawamah. Namun, risikonya si B akan rugi jika si A tidak jadi membelinya, karena si A tidak wajib membelinya.

Jika uang yang digunakan adalah uang si A, maka akad penitipannya bisa menggunakan akad wakalah (perwakilan). Si B adalah wakil si A dalam membeli handphone. Wakil hukum asalnya adalah cuma-cuma atau tidak mendapat bayaran.

Namun, boleh juga akad wakalah bil ujrah (perwakilan dengan imbalan). Si B boleh meminta ujrah (imbalan/upah) kepada si A ketika keduanya mengadakan akad wakalah dengan upah yang jelas dan diketahui. Jika tidak, maka akan menjadi wakil yang cuma-cuma. Si B tidak boleh menaikkan harga handphone dalam rangka mengambil keuntungan atau sebagai upahnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam salah satu fatwanya menetapkan bahwa wakalah dengan imbalan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

Sahabat yang budiman, berdasarkan kasus yang sahabat tanyakan di atas, tampaknya jual beli di atas masuk dalam kategori jual beli yang akadnya musawamah. Jual beli jenis ini sah. Dalam jual beli ini, penjual boleh menjual barangnya dengan harga berapa pun selama disetujui oleh pembeli secara suka sama suka, bukan karena dipaksa. 

Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.

Referensi: Al-Hawi Al-Kabir; Al-Mawardi, Raudhah Ath-Thalibin; An-Nawawi, dan Tuhfah Al-Muhtaj; Ibn Hajar Al-Haitami, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, Dewan Syariah Nasional MUI.

###


Share it:

Hukum

Islam

Tanya Jawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching