Namun tidak ada salahnya masalah ini juga dibahas di sini mengingat masih saja ditemui orang yang mempermaslahkannya dan menganggap sebagai bid'ah yang sesat. Padahal para ulama lintas madzhab selain Malikiyyah telah sepakat, bahwa melafalkan niat ibadah termasuk niat shalat dengan kata "ushalli fardhas shubhi rak'ataini ……dan seterusnya" adalah sunnah karena hal itu adalah bagian dari upaya menolong hati agar dapat menghadirkan niat ketika melaksanakan ibadah. Sedangkan niat adalah wajib dalam setiap ibadah apa pun, sebagaimana sabda Nabi SAW :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.......
(مالك فى رواية محمد بن الحسن ، وأحمد ، والبخارى ، ومسلم ، والترمذى ، وأبو داود ، والنسائى ، وابن ماجه عن عمر . أبو نعيم فى الحلية ، والدارقطنى فى غرائب مالك ، وابن عساكر عن أبى سعيد . ابن عساكر فى أماليه عن أنس . الرشيد العطار فى جزء من تخريجه عن أبى هريرة(
Artinya: Sesungguhnya sah dan tidaknya amal itu dengan niat dan dan sesungguhnya bagi seseorang itu adalah apa yang ia niatkan…. (HR Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim Tirmidzi, Abu Dawud An Nasa'I, Ibnu Majah dari Umar RA dan lain-lain)
Dalam pelaksanaan haji dan umrah, Nabi SAW juga melafalkan niat, sebagaimana riwayat berikut:
عَنْ أَنَسٍ : أَنَّهُ كَانَ عِنْدَ نَاقَةِ رَسُوْلِ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَلَمَّا اسْتَقْبَلَتْ بِهِ قَالَ لَبَّيْكَ بِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ مَعًا (ابن النجار)
Artinya: Dari Anas RA, sesungguhnya Rasulullah SAW berada di atas onta di tahun haji wada. Ketika ontanya bersiap untuk berangkat bersama Nabi SAW bersabda: "labbaika bihajjatin wa umratin ma'an" aku sambut panggilan-Mu bersama haji dan umrah." (HR Ibnu Najjar)
Berdasarkan hadits ini tentunya mengucapkan niat atau melafalkan niat seperti niat shalat dengan kalimat "ushalli ….. dan seterusnya" tentunya diperbolehkan meski dalam hadits ini konteksnya adalah ibadah haji dan umrah namun bukankah hadist shahih sebelumnya tentang niat berlaku pada semua amal termasuk shalat.
Pendapat Ulama Lintas Madzhab
Syekh Wahbah Zuhailiy dalam karyanya Al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatihi mengutip kesepakatan para ulama lintas madzhab sebagai berikut:
مَحَلُّ النِّيَّةِ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ وَفِي كُلِّ مَوْضِعٍ: اَلْقَلْبُ وُجُوْباً، وَلاَ تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعاً، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعاً، لَكِنْ يُسَنُّ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ غَيْرِ الْمَالِكِيَّةِ التَّلَفُّظُ بِهَا لِمُسَاعَدَةِ الْقَلْبُ عَلَى اسْتِحْضَارِهَا، لِيَكُوْنَ النُّطْقُ عَوْناً عَلَى التَّذَكُّرِ، وَالْأَوْلَى عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: تَرْكُ التَّلَفُّظِ بِهَا ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ التَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ، وَكَذَا لَمْ يُنْقَلْ عَنِ الْأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ. (الفقه الإسلامي وأدلته - (1 / 137))
Artinya: Berdasarkan kesepakatan fuqaha dan dalam setiap hal bahwa tempatnya niat adalah wajib di hati, dan sudah pasti tidak cukup dengan lisan saja, dan tidak disyaratkan melafalkan dengannya. Akan tetapi mayoritas ulama selain Malikiyah mensunahkan melafalkan niat untuk menolong hati untuk menghadirkan niat, agar mengucapkan niat itu dapat membantu mengingatnya. Menurut ulama Malikiyah yang lebih utama adalah tidak melafalkannya karena hal itu tidak pernah dinukil dari Nabi SAW, para sahabatnya, demikian pula tidak pernah dinukil dari para imam yang empat. (Al -iqhu al -slamiy wa Adillatihi 1/137)
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar