NU lucu dan Muhammadiyah tidak lucu, itu sudah jadi pemahaman umum. Cak Nun sudah pernah mengatakannya, kalau tidak salah di Slilit Sang Kyai (1991).
Saya juga merasakan itu. Saya orang Muhammadiyah, tapi akrab bergaul dengan anak-anak NU. Sering pula nongkrong dan cangkrukan dengan mereka, termasuk mendengarkan humor mereka. Humor anak-anak NU itu memang khas dan berkelas. Maksudnya, cita rasa humor mereka berbeda dengan yang lain, termasuk dari orang Muhammadiyah. Ditambah lagi, humornya bukan sekadar asal bikin ketawa, tapi juga menginspirasi.
Mau tahu contohnya? Misalnya, jika ditanya kenapa santri dan kiai NU banyak yang merokok, dengan santai mereka beralasan menggunakan dalil, “Warqo’uu ma’a ar-roo’qi’iin.” Orang yang tidak paham mengira kalimat itu berasal dari hadits atau malah ayat. Padahal itu cuma kalimat bikinan sendiri dari ayat yang dipelesetkan. Artinya, “Merokoklah bersama orang-orang yang merokok.”
Kalau bukan itu, mereka akan membuat pelesetan dalil lainnya:“Roqqi’ walaa nusyuura.” Merokoklah dan jangan nyusur (mengunyah tembakau). Atau dalil lainnya lagi,“Ni’matul ‘uduud ba’da dahaar,” yang merupakan kalimat Jawa yang “diarab-arabkan” dan berarti ‘Nikmatnya orang merokok itu setelah makan’.
Contoh lainnya, untuk menggambarkan keadaan yang kembang-kempis, hidup enggan mati tak mau, anak-anak NU mengungkapkannya dengan istilah, “La yamuutu walaa yahya. Ora mutu ngentekke biaya”. Tidak bermutu menghabiskan biaya.
Nah, saya yakin humor semacam itu tak bakal ditemui di tengah orang Muhammadiyah. Humor itu sangat NU. Bagi anak-anak NU itu, bermain (dan mempermainkan) kata dengan logika ushul fiqih adalah hal biasa, wong para kiainya saja biasa mengutak-atik dalil untuk mendapatkan kesimpulan hukum sesuai keinginan mereka. Tapi ingat, yang seperti itu hanya ditemui di kalangan NU pesantren. Kalau NU ndeso ya nggak banyak bedanya dengan Muhammadiyah. Kalaupun lucu, mungkin lucunya masih harus ditambah wagu.
Saya dulu mengira, anak-anak pesantren NU itu pintar bikin lelucon cerdas karena mereka belajar mantiq (logika), ushul fiqih, dan tasawuf. Lewat mantiq mereka menjadi pintar bermain kata. Dengan ushul fiqih mereka memplesetkan logika standar menuju kesimpulan tak terduga. Dan lewat tasawuf mereka mengenal sufi-sufi jadzab (nyentrik) yang sikapnya suka nyeleneh dan seenaknya. Sikap glenyengan dan sak penake dhewe ini lalu menular pada santri-santri NU itu. Makanya mereka jadi pintar melucu. Contoh terbaik, ya, Gus Dur itu.
Belakangan, analisis itu saya anggap baru separuh benar. Ternyata ada faktor lain yang lebih mendasar. Tingginya sense of humor orang NU itu ternyata bukan soal mantiq, ushul fikih, dan tasawuf. Juga bukan soal kebiasaan cangkrukan mereka, apalagi kesenangannya main gaplek dan remi di kamar-kamar pondok. Lalu apa jika bukan itu? Dalam analisis saya lagi, sebabnya adalah: karena secara alamiah, ideologi NU itu tak kenal dengan yang namanya musuh, sedangkan ideologi Muhammadiyah itu mengenal banyak musuh.
Lho?
Begini, Muhammadiyah itu terinspirasi Wahabi. Sebagai gerakan pemurnian Islam, kekhasan ideologi Wahabi itu adalah karena mereka memiliki konsep al wala’ wal bara’ (cinta dan benci), thaghut (sesembahan selain Allah), bid’ah, dan seterusnya. Konsep-konsep itu jelas meniscayakan adanya musuh atau lawan. Ketika konsep itu akan diterapkan, harus ada identifikasi konkret, siapa saja yang dimaksud musuh atau lawan itu. Dengan cara pandang mereka yang tekstual dan kaku, maka secara riil musuh-musuh itu dapat berupa orang non-Islam, figur-figur yang dikultuskan, penentang formalisasi syariat Islam, orang musyrik, ahli bid’ah, dan sebagainya. Mereka semua itu adalah musuh secara ideologis.
Nah, ideologi Wahabi ini menginspirasi Muhammadiyah, paling tidak dalam hal tekstualitas dan sikap anti TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat). Dan celakanya, TBC itu masih banyak ditemukan di tengah tradisi dan budaya masyarakat saat ini. Maka, mana mungkin mereka bisa akrab dengan tradisi dan budaya jika di sana banyak bercokol musuhnya. Mana mungkin bisa santai dan geguyon di tengah banyaknya musuh ideologis itu. Dan akibatnya, kebanyakan mereka bawaannya serius dan tegang. Padahal orang tegang itu nggak bisa melucu. Sebab kalau melucu malah wagu (janggal).
Lha kalau NU? Mereka tidak punya musuh semacam itu, wong ideologi mereka tidak akrab dengan istilah al wala’ wal bara’, thaghut, dan bid’ah. Ada memang konsep itu dalam ideologi mereka. Tapi penafsiran dan wujud nyatanya akan berbeda. Dibanding Muhammadiyah, NU lebih bisa bersikap cair pada orang non-Islam, lha wong konsep cinta dan bencinya juga berbeda. Seorang kiai khas NU yang dikultuskan, bagi Muhammadiyah adalah thaghut (sesembahan selain Allah). Tapi bagi NU, mereka malah diciumi tangannya dan dimintai barokah jika sudah wafat. Begitu juga dalam hal bid’ah. Amalan-amalan yang bagi Muhammadiyah dianggap virus ideologis, bisa jadi bagi NU adalah kawan sehari-hari, bahkan malah dilestarikan dan diuri-uri. Ini sangat logis, sebab doktrin NU adalah “Al-muhafazhatu ‘ala qadimis-shalih. Wal akhdzu bil-jadiidil-ashlah”. Nguri-uri tradisi yang baik, dan berinovasi dalam hal baru yang lebih baik.
Dengan doktrin itu, maka NU bisa lebih akrab dan mesra dengan hal-hal yang dianggap musuh oleh Muhammadiyah. Adat, tradisi, thaghut, bahkan orang non-Islam. Mereka bisa hidup lebih nyantai, geguyon dan glenyengan, juga ber-hahahihi semaunya sendiri. Bagi orang NU, hidup itu ceria dan menyenangkan. Hampir tak ada alasan untuk sedih dan muram. Orang NU itu hidupnya mengalir. Meminjam ungkapan Anwar Zahid, hidup itu yang penting dilakoni saja. “Esuk nyambut gawe. Shalat, dzikiran, ana tahlil ya mangkat, tanggane Yasinan ya melu Yasinan. Gak usah mikir bid’ah. Sing penting becik dilakoni. Ngono ae terus tekane pati. Penak”.
Lha orang Muhammadiyah tidak bisa begitu. Mereka memandang hidup ini dengan kacamata yang muram. Dunia makin rusak. Banyak maksiat. Harus ada amar ma’ruf nahi munkar. Hidup itu serius, penuh perjuangan, dan tentu saja, tak ada waktu untuk sekedar berkelakar atau gojekan.
Perbedaan itu, sebagian juga merupakan ekspresi dari cara keduanya memandang Tuhan. Bagi Muhammadiyah, Allah itu Maha Memaksa. Tapi bagi NU, seperti kata teman saya yang NU, Allah itu Maha Rileks. Itulah kenapa banyak yang menilai, NU itu lucu, sedangkan Muhammadiyah bawaannya tegang melulu.
Tapi jangan disalahpahami. Bukan lantas kalau ada orang Muhammadiyah yang serius, tegang, dan tidak suka humor berarti sudah jadi Muhammadiyah tenanan. Dan sebaliknya, yang masih suka glenyengan dan guyon berarti ora patek Muhammadiyah. Bukan begitu. Pak AR Fahruddin itu contohnya. Siapa yang meragukan ke-Muhammadiyah-an beliau? Beliau itu Muhammadiyah sejati, tapi Pak AR pintar melucu. Bahkan dalam forum yang dipandang tabu untuk melucu: khotbah Jumat!
Terlepas dari semua itu, NU dan Muhammadiyah memang telah memilih jalannya masing-masing. Jika NU berjalan di atas garis lucu, maka Muhammadiyah berada di atas garis lugu. Yang dimaksud lugu itu bukan sekedar apa adanya dan tekstual seperti Wahabi. Tapi lugu itu juga bisa diartikan sebagai singkatan dari “lucu dan wagu”.
Lha kok begitu?
Iya. Contohnya, orang Muhammadiyah tidak suka dengan puji-pujian (shalawatan) setelah adzan. Tapi dalam acara formal mereka, Muhammadiyah sendiri biasa menyanyikan “Sang Surya” (mars Muhammadiyah) di masjid. Bagi yang tidak paham Muhammadiyah, hal ini lucu tur wagu. Sebab menurut mereka, “Neng mejid kudune shalawatan, koq malah nyanyi.” Makanya, orang Muhammadiyah tak usah galau jika dibilang tidak lucu. Sebab tanpa melucu pun, nyatanya banyak orang Muhammadiyah yang sudah lucu.
Memang Muhammadiyah tahu, guyonan itu akan mengesankan keakraban dan egaliter. Namun, mereka juga tahu, Nabi Muhammad mengingatkan, terlalu banyak guyon akan mematikan kepekaan hati dan menghilangkan wibawa. Makanya Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah itu bukan untuk lucu-lucuan.
Kalau maksudnya cuma lucu-lucuan, tentu Kiai Dahlan mendirikan Srimulat atau grup ketoprak Soerja Soemoenar. Tapi tidak. Kiai Dahlan malah mengadakan pengajian Al-Ma’un, bukan Obrolan Angkring. Kiai Dahlan mengajak Soedja’ dan Hisjam. Bukan mengajak Wisben dan Dalidjo. Sebabnya ada dua. Pertama, Kiai Dahlan ingin mengajak berjalan di atas garis lugu, bukan garis lucu. Dan kedua, jelas, waktu itu Wisben dan Dalidjo belum lahir.
Tulisan pernah dimuat di Mojok, 8 Maret 2017.
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar