Penambahan Doa ‘Rabbighfir li’ ketika Selesai Membaca al-Fatihah
Sudah maklum bahwa hal yang dianjurkan setelah selesai menyelesaikan bacaan surat Al-Fatihah pada saat shalat adalah membaca kata “âmîn”. Hal ini berlaku baik bagi orang yang membaca surat tersebut ataupun bagi orang yang mendengarkan. Anjuran ini didasarkan pada salah satu hadits:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: {غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} فَقَالَ: «آمِينَ»، وَمَدَّ بِهَا صَوْتَهُ
“Diceritakan dari sahabat Wail bin Hujr, ia berkata: “Aku mendengar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ‘Ghairil maghdlûbi ‘alaihim wa ladl-dhâllîn’ lalu Nabi Mengucapkan “âmîn” dengan mengeraskan bacaannya” (HR Tirmidzi). Namun demikian, tidak jarang sebagian dari kita pernah menemui orang yang shalat, ketika setelah selesai membaca al-Fatihah, ia tidak hanya membaca kata “âmîn” saja, tapi juga menambahkan lafadz “rabbighfir lî amin”. Bukankah menyela-nyelai kalimat lain antara akhir surat Al-Fatihah dan kata “âmîn” adalah hal yang menghilangkan kesunnahan membaca “âmîn”? Lalu sebenarnya apakah menambahkan kata “rabbighfir lî” sebelum mengucapkan kata “âmîn” adalah hal yang dapat dibenarkan, atau bahkan dianjurkan?
Kata rabbighfir lî sebenarnya merupakan sebuah doa yang memiliki arti “Wahai Tuhanku, semoga Engkau mengampuni (dosa)ku”. Para ulama berpandangan bahwa membaca kata rabbighfir lî setelah selesai membaca surat Al-Fatihah saat shalat adalah hal yang tidak sampai menghilangkan kesunnahan membaca âmîn, sehingga kata âmîn sebaiknya dilafalkan setelah membaca kata tersebut. Hal demikian berdasarkan sebuah hadits Nabi, berikut penjelasan mengenai hal ini dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:
Kata rabbighfir lî sebenarnya merupakan sebuah doa yang memiliki arti “Wahai Tuhanku, semoga Engkau mengampuni (dosa)ku”. Para ulama berpandangan bahwa membaca kata rabbighfir lî setelah selesai membaca surat Al-Fatihah saat shalat adalah hal yang tidak sampai menghilangkan kesunnahan membaca âmîn, sehingga kata âmîn sebaiknya dilafalkan setelah membaca kata tersebut. Hal demikian berdasarkan sebuah hadits Nabi, berikut penjelasan mengenai hal ini dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:
ـ (تَنْبِيهٌ) أَفْهَمَ قَوْلُهُ عَقِبَ فَوْتَ التَّأْمِينِ بِالتَّلَفُّظِ بِغَيْرِهِ وَلَوْ سَهْوًا كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ عَنْ الْأَصْحَابِ وَإِنْ قَلَّ، نَعَمْ يَنْبَغِي اسْتِثْنَاءُ نَحْوِ رَبِّ اغْفِرْ لِي لِلْخَبَرِ الْحَسَنِ «أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ عَقِبَ الضَّالِّينَ رَبِّ اغْفِرْ لِي آمِينَ»
“Penjelasan penting. Ucapan penulis “Hilangnya kesunnahan membaca âmîn dengan mengucapkan kalimat yang lain, walaupun dalam keadaan lupa, seperti dijelaskan dalam kitab al-MAjmu’ dari para pengikut Imam as-Syafi’I, meskipun hanya kalimat yang sedikit” hendaknya dikecualikan penambahan kalimat rabbighfir lî berdasarkan hadits hasan bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah melafalkan ad-dhallîn adalah doa “rabbighfir lî âmîn” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 2, hal. 49) Lebih lengkap lagi, Syekh Ali Syibramalisi menambahkan tambahan kata “Wa li wâlidayya wa li jamî’il muslimîn” agar doa semakin bertambah lengkap. Dalam kitab hasyiyahnya, beliau menjelaskan: وَيَنْبَغِي أَنَّهُ لَوْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ وَلِوَالِدَيَّ وَلِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَضُرَّ أَيْضًا
“Hendaknya jika menambahkan kalimat Wa li wâlidayya wa li jamî’il muslimîn juga tidak masalah” (Syekh ‘Ali Syibramalisi, Hasyiyah as-Syibramalisi ‘ala Nihayah al-Muhtaj, juz 1, hal. 489).Namun hal yang perlu diperhatikan, anjuran mengucapkan doa “rabbighfir lî” setelah membaca Al-Fatihah ini tidak sama seperti halnya anjuran membaca kata “âmîn” yang disunnahkan baik bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah ataupun orang yang mendengarkan, sebab doa “rabbighfir lî” hanya disunnahkan bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah saja, sehingga tidak berlaku bagi orang yang mendengarkan, seperti halnya bagi makmum yang mendengarkan Fatihah Imam, ataupun orang yang berada di sekitar orang yang membaca Al-Fatihah. Dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin dijelaskan:
.وانظر هل الذي يقول ما ذكر القارئ فقط؟ أو كل من القارئ والسامع؟ والذي يظهر لي الأول، بدليل قوله في الحديث المار قال عقب: * (ولا الضالين) * أي قال عقب قراءته * (ولا الضالين) فليراجع
“Lihatlah, apakah yang (dianjurkan) mengucapkan lafadz tersebut (rabbighfir lî) adalah orang yang membaca al-Fatihah saja, atau juga bagi orang yang membaca dan mendengarkan? Hal yang tampak jelas bagiku adalah yang pertama (Orang yang membaca saja) dengan dalil dalam hadits yang telah dijelaskan berupa “setelah lafadz Waladdhallien” maksudnya setelah membaca lafadz Waladdhallien, maka perhatikan kembali” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 1, hal. 173) Meski demikian, jika ditinjau dari kekuatan hadits yang menjadi landasan anjuran membaca “Rabbighfir lî” rupanya para ulama hadits cenderung berselisih antara mengkategorikan hadits ini sebagai hadits hasan atau dhaif, mengingat salah satu perawi hadits yang menjelaskan mengenai hal ini cenderung didhaifkan (dianggap lemah) oleh para ulama ahli jarh wa ta’dil. Dua rawi yang dianggap bermasalah adalah Ahmad bin ‘Abdul Jabbar al-‘Utharidi dan Abu Bakr an-Nahsyali. Mengenai rawi yang disebutkan pertama, Abu al-Hasan Nuruddin al-Haitsami menjelaskan:
وَفِيهِ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ الْعُطَارِدِيُّ، وَثَّقَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ، وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ: رَأَيْتُ أَهْلَ الْعِرَاقِ مُجْمِعِينَ عَلَى ضَعْفِهِ
“Di dalam perawi hadits terdapat Ahmad bin ‘Abdul Jabbar al-‘Utharidi, Imam ad-Daruquthni dan Imam lainnya menganggap perawi tersebut tsiqqah (Dapat dipercaya). Imam Ibnu ‘Adhi berkata: “Aku melihat para ulama iraq bersepakat mendlaifkannya” (Abu al-Hasan Nuruddin al-Haitsami, Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ al-Fawaid, juz 2, hal. 293). Maka dari itu, tidak bisa dipungkiri bahwa hadits yang menjadi landasan anjuran membaca “âmîn” cenderung lebih kuat dan shahih dibandingkan dengan hadits yang menjadi pijakan membaca kata “rabbighfir lî amin”. Kesimpulan inilah yang dijadikan pedoman oleh salah satu ulama hadits kenamaan Mesir, Syekh Abdullah bin Muhammad al-Ghumari dalam himpunan fatwanya:
والحاصل: أن الحديث بدون زيادة: «رب اغفر لي» حسن صحيح كما قال ابن حجر وغيره، وهو بها ضعيف كما قال الحافظ العراقي، فظهر أن لا تناقض بين القولين لاختلاف موردهما وإن كان أصل الحديث واحد، وبالله التوفيق.
“Kesimpulannya bahwa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah tidak menambahkan kata rabbighfir lî dianggap hasan dan shahih, seperti yang dijelaskan Imam Ibnu Hajar al-‘Asyqalani dan Imam lainnya, sedangkan dengan menambahkan kata tersebut dihukumi dhaif, seperti yang diungkapkan al-Hafidz al-‘Iraqi, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pertentangan diantara dua pendapat karena berbeda-bedanya dasar (hadits) dari keduanya, meskipun asal dari (dua) hadits tersebut tetaplah satu” (Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari, Mausu’ah Abdullah al-Ghumari Fatawa wa Ajwibah, juz 16, hal. 181). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca kata “âmîn” saja setelah melafalkan surat al-Fatihah ketika shalat dipandang lebih utama, sebab berlandaskan pada dalil hadits yang lebih kuat. Meski begitu, orang yang menambahkan kata “rabbighfir lî” setelah membaca al-Fatihah, tidak bisa kita salahkan begitu saja, sebab amalan ini juga berlandaskan pada dalil yang dapat dijadikan pijakan dan memang terdapat ulama yang menyebut hadits tersebut sebagai hadits yang hasan, sehingga dapat diamalkan, terlebih membaca doa “rabbighfir lî” ini berada pada ranah fadha’ilul a’mal yang hadits dhaif pun juga bisa dijadikan sebagai pijakan, selama bukan berupa hadits maudlu’ dan hadits munkar. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar