Perjuangan Sayyid Awud bin Husein bin Yahya
Sayyid Awud adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw. generasi ke-34.berikut ini adalah silsilah beliau,Sayyid Awud bin Husein bin Awud bin Hasan bin Awud bin Hasan bin Idrus bin Muhammad bin Hasan bin Yahya bin Hasan al-Ahmar bin Ali an-Naaz bin Alwi an-Nasik bin Muhammad Mauladawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Faqih al-Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohibul Mirbath bin Ali Kholi' qosam bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa an-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja'far Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein as-sibthi bin Ali bin Abi Tholib wa Sayyidatuna Fatimah az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Beliau dilahirkan di Desa Wirodeso dari seorang ibu yang bernama Raden Ajeng Ayu, putri bupati Batang yang bernama R.T. Jayeng Rono atau Bupati Wiroto. Beliau juga kakak dari bupati Batang yang bernama R.T. Sido Rawuh, ayah dari R. Muhammad Isa atau Mbah Batang yang wafat di Kec. Kaliwiro dan dimakamkan di Kaliwiro. Maka Sayyid Awud dengan R. Muhammad Isa adalah sepupu.
Ayah Sayyid Awud adalah Sayyid Syarif Husain Yahya, yang pada waktu itu beliau mengasuh salah satu pondok pesantren di Kec. Wirodeso serta wafat di Wirodeso dan dimakamkan di pemakaman umum Kec. Wirodeso. Sayyid Syarif Husain Yahya mempunyai beberapa putra yaitu:
1. Sayyid Alwi Syarif Bustaman yang terkenal dengan Ki Ageng Purworejo. Beliau wafat di Purworejo dan dimakamkan di Desa Kedung Pucang Kec. Bener Kab. Purworejo.
2. Sayyid Awud atau Ndoro Sayyid yang ada di Desa Ngalian.
3. Sayyid Sholeh yang terkenal dengan sebutan Raden Saleh, pelukis peta Indonesia dan terkenal sampai mancanegara. Beliau wafat di Jakarta dan dimakamkan di Bogor sekitar tahun 1880.
4. Sayyid Ali Murtadho, beliau berjuang mengikuti jejak kakaknya yaitu Sayyid Awud. Beliau wafat di Ngalian dan dimakamkan di Desa Ngalian bersebelahan dengan makamnya Sayyid Awud.
5. Syarifah Ruqayah yang menjadi istri Habib Abdurrahman al-Habsy Cikini Jakarta bapak dari Habib Ali al-Habsyi Kwitang Jakarta.
Ketika Sayyid Awud masih kecil ia diasuh oleh kakaknya yaitu Sayyid Alwi Bustaman hingga dewasa. Setelah itu beliau mulai mencari ilmu pertama dari bapaknya sendiri, orang yang sangat alim dan bersahaja yaitu Sayyid Husain bin Yahya. Kemudian dilanjutkan belajar pada kakaknya yang sangat terkenal kealiman dan ketinggian ilmu agamnya serta pencetak pejuang-pejuang Pantai Selatan dan Utara, namanya sangat disegani, beliau adalah Sayyid Alwi Syarif Bustaman Kiai Agung Purworejo.
Beberapa diantara guru-guru Sayyid Awud yang lain adalah seorang satria yang gagah berani, yang terkenal pula tentang keluasan ilmunya dan wawasannya dan lagi seorang wali quthb yaitu Sayyid Hasan bin Thoha bin Yahya Semarang yang dikenal dengan Mbah Sayyid Kramat Jati atau Pangeran Sumodiningrat. Dan beliau juga mengambil ilmu kepada seorang yang sangat alim lagi banyak karomahnya yang bernama Sayyid Hasan bin Muhsin Al Ba'bud Purworejo yang bergelar Tumenggung Samparwadi.
Selanjutnya Sayyid Awud meneruskan mencari ilmu kepada seorang pembesar para wali yakni Sayyid Abdullah Bafaqih. Tidak lupa pula beliau medapatkan ilmu dari beberapa tokoh para kiai di zaman itu. Setelah beliau mendapatkan ilmu dan ijazah dalam mengajar dan berdakwah dan lain sebagainya, beliau tinggal di Pekalongan menggantikan ayahnya.
Sayyid Awud melakukan apa yang diperintahkan para gurunya untuk mengajar dan berdakwah. Beliau selalu tetap memegang teguh prinsip al-Quran dan as-Sunnah dan selalu mengikuti jejak para salafnya yang sangat shaleh. Beliau merupakan penganut Thariqah Syathariyah Alawiyah. Setelah itu beliau terpanggil untuk berjuang melepaskan dari belenggu penjajah dan kebodohan. Maka beliau bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo dan tokoh yang lain.
Pertempuran demi pertempuran berjalan mengikuti Kanjeng Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro terrtangkap, maka setiap pengikutnya meneruskan perjuangannya dengan segala cara. Akan tetapi tetap dalam landasan tuntunan Baginda Nabi Muhammad Saw. Sayyid Awud tidak terlepas dicurigai bahkan dikejar-kejar dimanapun beliau berada. Disamping itu beliau cukup besar pengaruhnya di kalangan masyarakat dan sangat disegani. Maka beliau sering berpindah-pindah tempat dan berganti nama untuk mengelabuhi Belanda.
Yang terakhir beliau membuat pertahanan dan meneruskan untuk dakwah di suatu desa yang bernama Gumelam. Maka setelah kedatangan beliau Gumelam dikenal dengan "Ngalian" atau hijrah beliau di situ, berdakwah dan berjuang sampai akhir hayatnya.
Kedatangan Sayyid Awud ke desa itu dengan menyamar. Atas segala keberanian dan ilmu yang dimilikanya, maka diangkatlah beliau oleh bupati Wonosobo menjadi kepala mandor kopi. Beliau terkenal dengan kebijaksanaan dan kearifannya. Walaupun beliau sangat ditakuti oleh para jagoan atau para centeng dan warok akan tetapi beliau tidak manunjukan kesombongannya. Beliau terkenal sangat lemah lembut, yang mana tadinya situasi dan kondisi sangat rawan akhirnya timbul rasa aman dan nyaman karena tumbuhnya kesadaran. Itulah salah satu bentuk perjuangan beliau sampai wafat.
Ada suatu kejadian sangat menarik yang pada waktu itu Sayyid Awud atau Mbah Arjodwiryo diprotes oleh salah satu pejabat pemerintah. Tugas beliau sebagai mandor hutan kopi kenapa kerjanya hanya duduk di dalam rumah atau mushalla terus? Maka dijawab oleh beliau: "Insya Allah hutan kopi akan aman."
Dan ternyata Allah Swt. menolong. Disaat para pencuri dan gerombolan perampok mau memasuki hutan kopi dan gudang kopi meraka ketakutan dan lari tunggang-langgang dikarenakan mereka melihat harimau yang sangat besar. Dan itu diyakini sebagai ciri khas kewalian atau khadamnya Sayyid Awud bin Husain bin Yahya.
Dan kejadian itu berulangkali, walaupun mereka sudah berpindah-pindah tempat untuk memasuki kawasan hutan kopi. Sehingga akhirnya para pencuri tersebut sadar dan ada yang bertaubat. Sejak kisah itu menyebar ke seluruh wilayah Wadaslintang dan Kaliwiro maka situasi dan kondisi hutan kopi dan keadaaan masyarakat jadi tentram. Dan sejak saat itu juga penjajah Belanda tidak bisa memasuki wilayah Wadaslintang khususnya Ngalian.
Diantara nama Sayyid Awud ketika dalam penyamaran adalah Mbah Arjodwiryo, Raden Gondo Kusumo dan Mbah Kiai Wiroto. Belanda baru mengetahui dan mengerti bahwa nama samaran tersebut di atas sebenarnya adalah Sayyid Awud bin Husain bin Yahya, senopatinya Pangeran Diponegoro, setelah wafatnya beliau.
Setelah Sayyid Awud wafat jenazahnya dimakamkan di pemakaman khusus keluarga priyayi dan santri di Dusun Blawong Desa Ngalian, kurang lebih 400 m dari jalan raya pada tahun 1898 M. Dan yang sering menziarahi makam beliau pada waktu itu adalah keluarga dari bupati Kebumen yang bernama KRT. Istikno Sosro Busono, sekitar tahun 1950.
Hingga pada tahun 1973 ada seorang yang terkenal kewaliannya, yaitu Mbah Kiai Abu Na'im, ziarah ke makam Sayyid Awud. Pada waktu itu masyarakat belum mengetahui siapa Sayyid Awud. Mereka hanya mengetahui dengan sebutan Ndoro Sayyid. Maka Mbah Abu Na'im mengatakan bahwa Ndoro Sayyid adalah termasuk waliyullah.
Dikarenakan penduduk sekitar makam tidak mengetahui siapa Sayyid Awud atau makam di Blawong maka sejak dulu jarang yang menziarahi ke makam itu. Tapi setelah dijelaskan oleh ahli keluarganya, yaitu Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, pada waktu diadakan haul yang pertama pada akhir Jumadil Akhir tahun 1431 H. Siapa sebenarnya Ndoro Sayyid atau Sayyid Awud, mulai saat itu ramai dikunjungi para peziarah dari masyarakat sekitar Wadaslintang dan dari luar daerah dan sering dikunjungi oleh kalangan habaib dari Wonosobo, Pekalongan, Cirebon, dan sebagainya.
Maka dari itu tidak disangsikan lagi bahwa Sayyid Awud adalah pejuang Negara sekaligus keluarga dari Rasulullah Saw. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari sejarah ini.
Sejarah Perjalanan Sayyid Awud Sampai ke Desa Ngalian
Kedatangan Sayyid Awud ke Desa Ngalian sebenarnya pada masa itu terjadi krisis ekonomi atau sulitnya mencari nafkah. Maka situasi hutan kopi pun menjadi tidak aman. Terjadilah pencurian dan perampokan hasil dari hutan kopi tersebut yang dilakukan oleh orang di sekitar Wadaslintang dan Kaliwiro. Sehingga pemerintah waktu itu merasa rugi dan menimbulkan kegelisahan.
Dan akhirnya pihak pemerintah pada waktu itu mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh seluruh mandor hutan kopi dan seluruh gelondong kecamatan Kaliwiro dan Wadaslintang. Adapun tempat yang digunakan untuk musyawarah kala itu adalah di kantor Kawedanan Kaliwiro.
Disaat musyawarah berlangsung, diantara yang hadir ada yang mengusulkan untuk menghadirkan orang pintar atau sesepuh yang intinya supaya diusahakan secara batiniah agar hutan kopi tersebut menjadi aman. Dan ternyata usulan tersebut disetujui oleh peserta musyawarah pada waktu itu.
Secara kebetulaan diantara yang hadir ada yang mengenal seorang sesepuh yang bernama Mbah Arjodwiryo asli orang Pekalongan dan kemudian diminta untuk hadir di Kawedanan Kaliwiro Wadaslintang. Ternyata beliau menyetujui apa yang menjadi keinginan pemerintah. Tapi beliau mengajukan suatu permintaan, agar didirikan mushalla.
Pihak pemerintah waktu itu pun menyetujui. Sehingga berdirilah mushalla yang bertempat di pertigaan jalan menuju Desa Kalidadap. Setelah itu Mbah Arjodwiryo (Sayyid Awud) mengumumkan kepada seluruh masyarakat sekitar Wadaslintang dan Kaliwiro: "Barangsiapa mengambil kopi untuk kepentingan hidup, maka diperbolehkan. Tapi jika untuk hura-hura atau maksiat maka tidak boleh."
Setelah Sayyid Awud berada di Desa Ngalian, maka beliau bertempat tinggal di Dukuh Blawong. Tepatnya di kediaman Mbah Sinder Sepuh atau kepala mandor hutan kopi, yang lokasinya berada di bawah pasar Ngalian atau di bawah gudang kopi pada waktu itu.
Hari-hari berikutnya Sayyid Awud memanfaatkan waktunya dengan cara mengajar ngaji kepada penduduk sekitar Wadaslintang dan Kaliwro. Terkadang pula beliau berkeliling ke tempat terpencil seperti ke Desa Lamuk, Desa Lancar dan sebagainya.
Sayyid Awud berjuang di wilayah Wadaslintang Kaliwiro tidaklah sendirian melainkan dibantu oleh teman seperjuangannya, antara lain Sayyid Ali Murtadho (adik beliau), Mbah Kiai Muhammad Fadlil dari Sepuran yang kemudian menetap dan wafat tahun 1917 di Wadaslintang, Mbah Ali Murtojo, Mbah Kiai Muhammad Isa di Kaliwiro, dan masih banyak lagi.
Dan mulai saat itu agama Islam mulai kelihatan gerakannya. Pesantren-pesan
tren mulai didirikan meski masih berskala kecil. Karena situasi pada waktu itu belum stabil dan masih banyak terjadi pertempuran, akhirnya mereka ada yang gugur dalam medan perang, wafat di tempat pengungsian dan ada yang karena memang sudah tua, hingga masa kemerdekaan.
Demikianlah sejarah waliyullah Sayyid Awud bin Husain bin Yahya dalam melaksanakan ibadah dan perjuangan dalam membela agama dan negaranya sampai beliau wafat pada tahun 1898 M. Semoga kita bisa meneruskan perjuangannya maupun apa yang beliau cita-citakan. Amin.
Daftar Narasumber Sejarah:
1. Maulana Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
2. Simbah Kiai Abdurrokib.
3. Sesepuh Kecamatan Wadaslintang dan Kaliwiro.
Wonosobo, 27 Shafar 1432/02 Februari 2011
Ketua Tim Penyusun: Abdulloh
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar