Naqsyabandiyah merupakan salah satu
tarekat sufi yang memiliki cukup banyak pengikut di indonesia.
Naqsyabandiyah sendiri berasal dari kata ’Naqsyaband’ yang merupakan
gelar pendirinya, Syah Naqsyaband. Sementara tambahan –yah, merupakan ya
nisbah, yang berarti pengikut. Sehingga makna Naqsyabandiyah berarti
pengikut Syah Naqsyaband.
Setiap tarekat sufi, memiliki ritual dan aqidah tertentu, yang
membedakan antara satu tarekat dengan tarekat lainnya. Tak terkecuali
tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini memiliki ritual khusus dalam
peribadahan maupun aqidah yang membedakannya dengan tarekat lainnya.
Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat ini pertama kali muncul pada abad 14 M di Turkistan. Pencetusnya
bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian
mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan
meninggal tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M.
(al-Mausu’ah al-Muyasaroh fi adyan wa madzahib, 1260)
Aqidah dan Keyakinan Tarekat Naqsabandiyah
Bagian penting yang membedakan antara satu tarekat dengan tarekat yang
lain adalah masalah aqidah. Setiap tarekat memiliki aqidah dan ritual
ibadah yang menjadi andalan mereka. Berikut beberapa keyakianan dan
aqidah yang dianut tarekat naqsabandiyah,
Pertama, naqsabandiyah memiliki keyakinan bahwa pendiri tarekat pertama
adalah Abu Bakr as-Shiddiq. Abu Bakr mengamalkan dzikir dan wirid
naqsabandiyah, dengan mengkarantina diri untuk berdizkir dan tidak putus
hingga masuk waktu subuh. Ketika itu banyak orang mencium bau daging
panggang. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa
itu adalah bau hati Abu Bakar karena saking banyaknya berdzikir kepada
Allah. (Irgham al-Murid karya al-Kautsari, hlm. 30, simak Majalah Manar
al-Huda, volume 16, hlm. 20).
Kedua, mereka berkeyakian bahwa orang yang tidak mengikuti tarekat
naqsabandiyah, dia berada dalam bahaya agamanya. Dan doktrin semacam ini
bisa dipastikan ada dalam setiap firqah dan aliran kepercayaan. Karena
diantara metode untuk mengikat pengikutnya adalah dengan memastikan
bahwa merekalah yang paling berhak dengan surga. (simak Nur al-Hidayah
wa al-Urfan, hlm. 41)
Ketiga, pengikut naqsyabandiyah menyikapi para tokohnya yang sudah mati
sebagaimana ketika layaknya orang hidup. Mereka istighatsah di kuburan
tokohnya, meminta keputusan ke tokohnya, membaiat tokohnya yang sudah
mati, bahkan menimba ilmu dari mereka. semuanya biasa mereka lakukan di
kuburan tokohnya.
Mereka meyakini bahwa hubungan dengan Allah hanya bisa dilakukan melalui
cara mendekatkan diri kepada mereka. Media yang mereka gunakan adalah
foto tokohnya, atau membayangkan wajah tokohnya dalam imajinasi ketika
mereka berdzikir kepada Allah.
Sarana hubungan semacam ini disebut ar-Rabithah.
Bagi naqsyabandiyah, mendekatkan diri kepada Allah melalui ar-Rabithah
lebih kuat dibandingkan shalat 5 waktu yang dikerjakan kaum muslimin.
Bahkan diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa syaikh naqsyabandiyah
ada yang berupa binatang, seperti kuda, kucing, macan, lebah, atau
elang. Dalam kitab Rasyahat ‘ain al-Hayat, dianyatakan,
وأما الحيوانات فلنا منهم شيوخ ، ومن شيوخنا الذين اعتمدت عليهم الفرس فإن
عبادته عجيبة ، فما استطعت أن أتصف بعبادتهم
Terkait binatang, kami menegaskan bahwa diantara mereka ada yang menjadi
syaikh (guru). Diantara guru kami yang saya jadikan acuan adalah kuda.
Ibadahnya sangat menakjubkan. Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana
ibadahnya. (Rasyahat A’in al-Hayat hlm. 133, Ali al-Harawi).
Keempat, pembelaan Naqsyabandiyah terhadap ritual ar-Rabithah sangat
kuat. hingga ketika mereka ditanya tentang dalil, mereka menegaskan,
ritual Rabithah tidak butuh dalil.
على أنه لا يجب علينا الاستدلال على الرابطة الشريفة بدليل لأن دليل من
قلدناه من العلماء العاملين والأولياء العارفين كاف واف بالمقصود
”Kami tidak wajib untuk mencari dalil tentang ritual Rabithah yang
mulia, karena dalil yang dimiliki oleh para ulama dan para wali
al-arifin yang kami ikuti, sudah cukup dan sesuai maksud.” (Nur
al-Hidayah wa al-Urfan, hlm. 37).
Di halaman lain dari kitab Nur al-Hidayah, mereka menyatakan,
رؤية الشيخ تثمر ما يثمره الذكر، بل هي أشد تأثيرا من الذكر، وقد كانت
تربية النبي لأصحابه كذلك فكانوا يشتغلون برؤية طلعته السعيدة وينتفعون بها
أكثر مما ينتفعون بالأذكار
”Melihat Syaikh (dalam khayalan) membuahkan manfaat sebagaimana layaknya
dzikir. Bahkan lebih kuat pengaruhnya dari pada dzikir. Dulu pengajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat juga demikian.
Sehingga para sahabat sibuk melihat penampakan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang bahagia, dan mereka bisa mendapatkan manfaat dengan
bayangan itu, melebihi manfaat dzikir. (Nur al-Hidayah wa al-Urfan, hlm.
51).
Kelima, mereka meyakini bahwa as-Salikin (orang yang menempuh jalan
tarekat), bisa melihat Allah dalam bentuk semua makhluk hidup, baik
manusia, tumbuhan, atau binatang. Bahkan Allah menampakkan diri dalam
bentuk kuda. (al-Bahjah as-Saniyah, hlm. 6).
Menurut mereka, Allah terkadang berubah wujud dengan bentuk yang
beraneka ragam.
Diantara mereka bahkan menyebutkan bahwa Allah juga melaksanakan shalat.
(Kitab as-Sab’i Asrar fi Madarij al-Akhyar, Muhammad Ma’shum, hlm. 83).
Keenam, pengikut Naqsyabandiyah sangat meyakini kewalian pendirinya
Bahauddin Naqsyaband. Dia dianggap memiliki banyak karomah. Diantara
karomah Bahauddin, bahwa dia pernah menyuruh seseorang untuk mati,
”Matilah”, kemudian orang itu langsung mati. Kemudian dia hidupkan
kembali, ”Hiduplah” lalu dia hidup kembali.
(al-Mawahib as-Sarmadiyah, hlm. 133 dan al-Anwar al-Qudsiyah, hlm. 137).
Ketujuh, Arwah Syaikh Naqsyabandiyah, langsung menuju Allah tanpa
dicabut malaikat,
Abdullah ad-Dahlawi mengatakan,
أرواح عامة المؤمنين يقبضها ملك الموت وأما قبض أرواح خاصة الخاصة فلا دخل
للملائكة فيها
Arwah manusia pada umumnya dicabut oleh malakul maut (malaikat pencabut
nyawa), sementara dicabutnya arwah ulama khusus, tidak berhak malaikat
mencabutnya. (al-Hadaiq al-Waradiyah, 213).
Kedelapan, rumah Syaikh Naqsyaband layaknya kiblat yang wajib disucikan
Salah satu murid Syaikh Bahauddin Naqsyaband menceritakan,
أمرني الشيخ شادي أحد أجلاء أصحاب الشيخ بهاء الدين أن لا يمدّ أحدنا رجله
إلى جهة يكون فيها الشيخ قدس الله سره
Syaikh Syadi – salah satu murid senior Bahauddin – menyuruhku agar tidak
selonjor kaki ke arah di mana Syaikh Bahauddin berada. (al-Hadaiq
al-Waradiyah, hlm. 140).
“Suatu hari, aku mendatangi istana kaum Arifin (rumah Syaikh Bahauddin)
untuk mengunjunginya. Sebelum sampai, sayapun berteduh di bawah pohon
sambil tiduran. Tiba-tiba datang hewan dan menyengat kakiku dua kali.
Akupun berdiri kesakitan. Kemudian aku tiduran lagi, dan binatang itu
balik lagi. Akupun duduk dan merenung, hingga aku teringat nasehat
Syaikh Syadi. Ternyata kakiku selonjor ke arah istana Arifin.”
(al-Hadaiq al-Waradiyah, hlm. 140).
Kesembilan, diantara karomah tokoh Naqsyabandiyah, mereka bisa
memindahkan penyakit dari satu orang ke benda lain.
Dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya dinyatakan,
وكان لعبيد الله أحرار ميزة عجيبة فكان عنده قوة ينقل بها المرض من شخص لآخر
Syaikh Ubaidilah Ahrar memiliki keistimewaan khusus, beliau memiliki
kekuatan bisa memindahkan penyakit dari seseorang ke benda lain. (Jami’
Karamat al-Auliya 2236, al-Anwar al-Qudsiyah hlm. 177).
ونص الدهلوي على أن نقل المرض من كرامات مشايخ هذه الطريقة
Ad-Dahlawi menegaskan bahwa kemampuan memindahkan penyakit, termasuk
karamah para tokoh Tarekat ini. (Syifa al-Alil Tarjamah al-Qoul
al-Jamil, 104)
ويحكي الخاني أن تحمل المشايخ للأمراض ونقله إلى آخرين من عادة السادة
أصحاب الطريقة
al-Khoni menegaskan, memindahkan penyakit ke orang lain, termasuk
kebiasaan tokoh tarekat ini. (al-Hadaiq al-Waradiyah, 148)
demikian beberapa keyakinan dan aqidah tarekat Naqsyabandiyah, yang
tertuang dalam buku-buku tokoh mereka. Tentunya masih banyak lagi
beberapa aqidah lainnya, dan apa telah disebutkan semoga telah mewakili.
(Keterangan lebih lengkap, simak di: Mausu’ah al-Firaq al-Muntasibah li
al-Islam)
Ritual Dzikir Tarekat Naqsyabandiyah
Mengenai ritual dzikirnya, berikut video dokumentasi tata cara dzikir
Naqsyabandiyah di sebagian negara:
Allahu a’lam.
AJARAN DASAR THORIQOH NAQSYABANDIYAH
11 Dasar ajaran Tarekat Naqsyabandiyah
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya
hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada
waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan
menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah
di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya
nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan
sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan
menuju kepada- Nya.
2). “Nazhar Barqadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam
iktikafsuluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah
kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak
boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena
dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk
berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan
lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan
belum mampu memelihara hatinya.
3). “Safar Darwathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang
kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci
lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol
hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4). “Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu
menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu
sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada
dua bentuk khalwat :
a. Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan
mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b. Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa
musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada
di tengah- tengah orang ramai.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik
zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la
ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah
melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan
kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan
rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga terasa
dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap
dari pemandangannya.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara
hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya,
walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah
masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat
ini.
Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama
40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT,
sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain
daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam,
maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada
musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT
terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan
kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang
murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna.
Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau
salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau
tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT
pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia
harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan
zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan
bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima)
sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh
Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu
hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan
dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca
indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk
menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam
hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari
pengertian zikir.
Ritual dan Teknik Spiritual Tarekat Naqsyabandiyah (2)
dzikir Latha'if
Dzikir dan Wirid Teknik dasar Naqsyabandiyah,
seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang
menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan
latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih
langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan
dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir
diam (khafi, "tersembunyi", atau qalbi, " dalam hati"), sebagai lawan
dari dzikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain.
Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada
Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjama'ah maupun sendiri-sendiri.
Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara
sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syaikh
cenderung ikut serta secara teratur dalam
pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjama'ah. Di banyak
tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam
Jum'at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali
seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Secara keseluruhan, ajaran tarekat
Naqsyabandiyah terdiri dari 17 tingkat mata pelajaran. Ke-17 tingkat
mata pelajaran tersebut adalah;
1. Dzikir Ismu Dzat: "mengingat yang Haqiqi"
Pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung
dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata.
2. Dzikir Latha'if: "mengingat Asma Allah pada tujuh titik halus pada tubuh"
Seseorang yang berdzikir memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama
Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh
titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha'if), adalah;
- qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri
- ruh (jiwa), selebar dua jari di bawah puting susu kanan
- sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas puting susu kiri
- khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan
- akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada
- nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama
- kullu jasad, luasnya meliputi seluruh tubuh, bila seseorang telah
mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini,
seluruh tubuh akan bergetar dalam Asma Allah.
3. Dzikir Nafi Itsbat: "mengingat keesaan"
Bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat La Ilaha
Illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui
tubuh. Bunyi La permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati
sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung
bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, Illa dimulai dengan turun melewati
bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di
hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu
mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
4. Dzikir Wuquf: "diam dengan semata-mata mengingat Allah"
Mengingat Dzat Allah yang bersifat dengan segala sifat sempurna dan
suci, atau jauh dari segala sifat kekurangan. Dzikir Wuquf ini
dirangkaikan setelah selesai melaksanakan dzikir Ismu Dzat atau dzikir
Latha'if, atau dzikir Nafi Itsbat. Pelaksanaan dzikir Wuquf ini sebelum
menutup dzikir-dzikir tersebut.
5. Dzikir Muraqabah Ithla'
Seseorang berdzikir dan ingat kepada Allah SWT bahwa Ia mengetahui
keadaan-keadaannya dan melihat perbuatan-perbuatannya, serta mendengar
perkataan-perkataannya.
6. Dzikir Muraqabah Ahadiyatul Af’al
Berkekalannya seorang hamba menghadap serta memandang Allah SWT yang
memiliki sifat sempurna serta bersih dari segala kekurangan, serta Maha
Berkehendak.
7. Dzikir Muraqabah Ma’iyah
Berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada
Allah SWT yang mengintai di mana saja hamba itu berada.
8. Dzikir Muraqabah Aqrabiyah
Keadaan mengingat betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya.
9. Dzikir Muraqabah Ahadiyatuzzati
Mengingat sifat Allah yang esa dan menjadi tempat bergantungnya segala
sesuatu.
10. Dzikir Muraqabah Zatissyarfi wal Bahti
Berkaitan dengan sumber timbulnya kesempurnaan kenabian, kerasulan dan
‘ulul azmi, yakni dari Allah semata.
11. Maqam Musyahadah
Kondisi di mana seseorang berdzikir seolah-olah dalam tahap
berpandang-pandangan dengan Allah.
12. Maqam Mukasyafah
Kondisi di mana seolah terbuka rahasia ketuhanan bagi seseorang yang
berdzikir. Bila berdzikir pada maqam ini dilaksanakan dengan baik,
sempurna, dan ikhlas, maka seorang hamba akan memperoleh hakikat kasyaf
dan rahasia-Nya.
13. Maqam Muqabalah
Dalam tahap berhadap-hadapan dengan wajah Allah yang wajibul wujud.
14. Maqam Mukafahah
Tahap ruhaniah seseorang yang berdzikir berkasih sayang dengan Allah.
Dalam maqam ini, kecintaan pada selain Allah telah hilang sama sekali.
15. Maqam Fana' Fillah
Kondisi di mana rasa keinsanan seseorang melebur ke dalam rasa
ketuhanan, serta secara fana melebur dalam keabadian Allah.
16. Maqam Baqa' Billah
Pencapaian tahap dzikir, di mana kehadiran hati seorang hamba hanya
bersama Allah semata.
17. Tahlil Lisan
Melaksanakan dzikir Nafi Itsbat yang diucapkan secara kedengaran, atau
jahar. Dzikir Tahlil Lisan ini dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah
ditetapkan oleh syaikh mursyid.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia:
wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad Saw., dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat.
Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syaikhnya,
untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan.
Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang
lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda.
Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad
Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Syaikh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak
memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
========
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar