ilustrasi |
Ibnu Sina adalah seorang ulama Zaman Pertengahan sekaligus seorang dokter yang sangat terkenal baik di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah, negeri-negeri di belahan barat Dunia seperti Eropa dan Amerika maupun di belahan timur Dunia seperti negeri-negeri di Asia termasuk Indonesia. Nama lengkapnya adalah Abu ʿAli al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allah ibn Sina. Ia lahir di Bukhara Uzbekistan pada tahun 980 M (sekarang masuk wilayah negara Iran), dan sudah hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun. Di dunia Barat ia dikenal dengan nama yang sudah terpengaruh bahasa Latin, yakni Avicenna. Ibnu Sina digelari Bapak Kedokteran Modern.
Salah satu teori kesehatan yang sangat terkenal dari Ibnu Sina adalah bahwa sakit tidak melulu disebabkan oleh lemahnya fisik tetapi bisa juga disebabkan oleh kondisi kejiwaan yang lemah. Teori ini ditemukannya ketika menangani seorang pasien yang sakit secara fisik tetapi bukan disebabkan karena gangguan fisik melainkan kejiwaannya sedang melemah. Jadi Ibnu Sina tidak saja seorang dokter tetapi juga seorang psikolog yang sangat mengerti persoalan-persoalan perilaku seseorang sebagai cerminan dari kejiwaannya.
Pada suatu hari Ibnu Sina dipanggil seorang pejabat tinggi sehubungan adanya seorang pangeran yang sedang terganggu jiwanya. Gangguan itu adalah melankoli dan halusinasi dan kemudian berkembang menjadi delusi. Delusi adalah jenis gangguan mental di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga ia meyakini dan bersikap sesuai dengan hal yang ia pikirkan (hellosehat.com, 11/07/2020).
Akibat delusi sang pangeran merasa dan berpikir bahwa dirinya adalah seekor sapi. Ia tak lagi mau makan makanan sebagaimana biasa dimakan manusia. Ia juga tak mau minum minuman sebagaimana biasa diminum oleh mereka. Keadaan ini membuat gelisah sang pejabat tinggi yang kemudian ia memerintahkan pejabat di bawahnya untuk meminta izin pada sang Raja mendatangkan Ibnu Sina untuk mendiagnosis dan mengobati penyakitnya.
Berikut adalah kisah selengkapnya Ibnu Sina menangani sang pangeran yang bersumber dari buku karya Dr. Hamid Naseem Rafiabadi berjudul Saint and Savior of Islam, (Sarup & Sons; New Delhi, 1st Edition, 2005: 282).
Sang Pangeran Minta Disembelih
Ia adalah pangeran Buyhid. Ia mengalami gangguan kejiwaan yang disebut delusi. Ia merasa dan berpikir bahwa dirinya adalah seekor sapi sehingga sering berperilaku seperti binatang ternak berkaki empat tersebut. Ia sudah tak mau makan dan minum sebagaimana biasanya karena semua hidangan itu dia pikir tidak cocok untuk dirinya. Akibatnya badannya kurus kering dan sangat lemah.
Beberapa dokter telah didatangkan untuk mendiagnosis penyakit sang pangeran, tetapi tak seorang pun dari mereka memahami penyakitnya. Mereka tak mampu mendiagnosis penyakit apa yang dialami sang pangeran, apalagi ketika ia minta disembelih layaknya binatang kurban dalam rangka merayakan Hari Idul Adha. Para dokter tersebut satu per satu mengundurkan diri.
Dalam keadaan seperti itu, seorang pejabat tinggi bernama Allau Dullah sangat mencemaskan keadaan sang pangeran. Ia kemudian memerintahkan kepada pejabat di bawahnya, Khwaja Abu Ali, untuk memohon izin sang Raja mendatangkan Ibnu Sina guna menangani penyakit sang pangeran.
Ibnu Sina menyanggupi permintaan itu dengan catatan tidak boleh ada seorang pun campur tangan terhadap cara sang dokter sekaligus ulama hafidz qur’an itu dalam memberikan psikoterapi terhadap sang pangeran. Kesanggupan itu sangat penting sebab pada saat itu belum banyak orang paham bagaimana sebuah psikoterapi diterapkan. Metode ini sama sekali baru dan seringkali mengejutkan dan menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan tertentu bagi yang belum paham prinsip-prinsip dasar psikoterapi.
Secara teoritis, “Psikoterapi adalah sebuah bentuk interaksi antara klien (pasien) dan terapis yang bertujuan untuk membantu klien melalui masa-masa sulit dan mempelajari berbagai cara untuk menyelesaikan masalah dalam hidup. Terapi ini bersifat terbuka, yang berarti baik klien maupun terapis akan sama-sama mencari jalan keluar yang terbaik. Klien tidak akan mendapat paksaan, suruhan, atau tuntutan apa pun dari terapis yang dirasa tidak sesuai. Biasanya terapis hanya akan mendampingi serta memberikan bimbingan dan anjuran bagi klien dalam menjalani hidup sehari-hari yang penuh tantangan” (hellosehat.com, 20/06/2020).
Ketika Ibnu Sina datang dan bertemu dengan sang pangeran, ia mengatakan kepada sang pangeran bahwa ia akan segera disembelih dan sang jagal pun telah tiba. Mendengar kabar itu sang pangeran sangat kegirangan karena selama ini memang hal itu yang dia tunggu-tunggu.
Ibnu Sina kemudian memerintahkan kedua temannya untuk mengikat kedua lengan sang pangeran secara ketat dengan seikat tali yang kuat. Tak lama setelah itu Ibnu Sina datang ke tempat itu sambil mengacung-acungkan sebuah pisau. Sebelum bermaksud menyembelih sang pangeran, Ibnu Sina mengasah pisau itu dengan batu hingga tampak sangat tajam. Ibnu Sina berpenampilan bak seorang jagal yang sangat kejam dan tak kenal ampun.
Tak lama setelah itu, sang pangeran membaringkan diri dan Ibnu Sina mengangkangi dada sang pangeran seolah-olah dia benar-benar akan menyembelihnya. Tetapi setelah menyentuh lengan dan beberapa bagian dari tubuh sang pangeran, Ibnu Sina mengatakan, “Sapinya sangat lemah dan mudah remuk, tidak ada gunanya menyembelih binatang yang sedemikian lemah.”
Ibnu Sina lalu menyarankan agar sapi makan terlebih dahulu hingga kenyang baru kemudian dapat disembelih. Sang pangeran yang dalam imajinasinya adalah seekor sapi itu setuju atas usul sang jagal dan kemudian mulai memakan apa saja dari makanan yang disodorkan padanya. Makanan itu telah dicampuri obat yang tepat dengan dosis yang pas oleh Ibnu Sina. Sang pangeran pun perlahan-lahan membaik keadaannya dan akhirnya sembuh baik secara jasmani maupun rohani.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar