ikl Tanya Kiyai: Hukum Cinta Tanah Air? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Kiyai: Hukum Cinta Tanah Air?

Share it:

Tanya Kiai: Hukum Cinta Tanah Air?



Pertanyaan (Zaki, bukan nama sebenarnya):

Apa hukumnya mencintai tanah air, dan bukankah hadis mencintai tanah air sebagian dari iman (hubbul wathan minal iman) itu lemah bahkan palsu?

Jawaban (Ustadz Zainol Huda):

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanah air didefinisikan sebagai negeri tempat kelahiran. Tanah air dapat juga berarti tempat di mana kita lahir, dibesarkan, belajar, mencari nafkah, memanfaatkan hasil alamnya, menikmati karunia lautnya, dan bersujud di atas hamparan tanahnya. 

Cinta tanah air sering disebut juga dengan nasionalisme. Nasionalisme sendiri berasal kata nasional dengan akhiran isme yang menunjukkan makna paham atau ajaran. Nasional merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, nation yang berarti  bangsa. 

Menurut KBBI, kata bangsa dapat berarti:

1. Kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri.

2. Golongan manusia, binatang atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan.

3. Kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. 

Adapun nasionalisme memiliki dua pengertian: 

Pertamapaham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.

Kedua, kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. 

Cinta tanah air secara eksplisit sesuai dengan pengertian yang pertama. 

Lalu apa yang disebut wathan? 

Al-Jurjani mendefinisikan wathan sebagai berikut:    

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ    

Wathan ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. 

Dengan demikian, wathan dalam bahasa Arab, memiliki definisi yang sama dengan definisi tanah air di dalam KBBI. Karena itu, cinta tanah air sering disebut hubbul wathan dalam bahasa Arab.

Sayyid Muhammad mendefinisikan tanah air (wathan) sebagai tanah di mana kita lahir dan tumbuh berkembang, memanfaatkan tumbuhan dan binatang ternaknya, mencecap air dan udaranya, tinggal di atas tanah dan di bawah kolong langitnya, serta menikmati berbagai hasil bumi dan lautnya sepanjang masa.  

Hukum Cinta Tanah Air 

Cinta tanah air merupakan hal yang sifatnya alami (fitrah) pada diri manusia. Karena sifatnya yang alamiah dan melekat pada diri manusia, maka status hukum asal adalah mubah/boleh. 

Dalam kajian Ushul Fikih, segala hal yang bersifat alamiah berstatus hukum boleh, sebagaimana makan dan minum. Manusia tanpa diperintah pun pasti akan makan dan minum, ini sudah menjadi sifat naluriah. 

Oleh sebab itu, manusia yang sehat akalnya, tanpa diperintah pun akan mencintai tanah airnya. Tanah di mana ia mengabdikan dirinya untuk agama dan Tuhannya, tanah tempat ia bersujud di hamparan buminya, tanah tempat ia mengambil manfaat segala hasil alam demi keberlangsungan hidupnya. Itulah hukum asal mencintai tanah air. 

Namun, hukum asal ini bisa berubah sebagaimana hukum makan dan minum juga dapat berubah sesuai motif dan kondisi. 

Meskipun cinta tanah air bersifat alamiah-naluriah, bukan berarti Islam tidak mengaturnya. Islam sebagai agama yang sempurna mengatur fitrah manusia termasuk dalam konteks mencintai tanah air. Tujuannya adalah agar menjadi manusia yang dapat berperan secara maksimal dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain juga memiliki keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. 

Terkait cinta tanah air adalah fitrah, Allah berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قَلِيْلٌ مِنْهُمْ

Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka… (QS. An-Nisa' [4]: 66).

Wahbah Al-Zuhaili menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:

وفي قوله: (أَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) إِيْمَاءٌ إِلىَ حُبِّ الوَطَنِ وتَعَلُّقِ النَّاسِ بِهِ، وَجَعَلَه قَرِيْنَ قَتْلِ النَّفْسِ، وَصُعُوْبَةِ الهِجْرَةِ مِنَ الأوْطَانِ

Dalam firman Allah (أَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) terdapat isyarat akan cinta tanah air dan ketergantungan manusia terhadap tanah airnya, dan Allah memposisikan meninggalkan kampung halaman sebanding dengan bunuh diri, dan sulitnya berpindah keluar dari tanah air.

Wahbah Al-Zuhaili juga mengemukakan:   

وفي قَولِهِ تَعَالى: (أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ) إِشَارَةٌ صَرِيْحَةٌ إلَى تَعَلُقِ النُفُوْسِ البَشَرِيَّةِ بِبِلادِها، وَإِلَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ مُتَمَكِّنٌ فِي النُفُوْسِ وَمُتَعَلِقَةٌ بِهِ، لِأَنَّ اللهَ سُبْحانَهُ جَعَلَ الخُرُوْجَ مِنَ الدِّيَارِ وَالأَوْطانِ مُعَادِلاً وَمُقارِنًا قَتْلَ النَّفْسِ، فَكِلَا الأَمْرَيْنِ عَزِيْزٌ، وَلَا يُفَرِّطُ أغْلَبُ النَّاسِ بِذَرَّةٍ مِنْ تُرابِ الوَطَنِ مَهْمَا تَعَرَّضُوْا لِلْمَشَاقِّ والمَتَاعِبِ والمُضَايَقاتِ.

Dalam firman Allah, “Keluarlah dari kampung halaman kamu!”, merupakan isyarat yang jelas tentang ketergantungan jiwa manusia terhadap negaranya, dan bahwa cinta tanah air merupakan sesuatu yang melekat dalam jiwa dan berkait kelindan dengan tanah kelahirannya. Sebab Allah menjadikan keluar dari kampung halaman dan tanah air, setara dan sebanding dengan bunuh diri. Kedua hal tersebut sama-sama berat dilakukan. Mayoritas manusia tidak akan meninggalkan sedikitpun tanah airnya ketika mereka dihadapkan pada penderitaan, ancaman, dan gangguan.”

Selain itu, ada juga hadis sahih yang menunjukkan cinta tanah air. Pernah suatu ketika Abdullah bin 'Adi bin Hamra` Az Zuhri melihat Nabi Muhammad ﷺ berdiri di Hazwarah (daerah Makkah) sambil bersabda: 

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلاَ أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

Demi Allah, sesungguhnya kamu (kota Makkah) adalah sebaik-baik tanah Allah, dan tanah yang paling dicintai oleh Allah, seandainya aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar (darimu) (HR. Tirmidzi no. 3925 & Ibnu Majah no. 3108). 

Hadis di atas menunjukkan betapa Nabi Muhammad ﷺ mencintai Mekah, tanah kelahirannya. 

Kemudian ada juga hadis yang menjelaskan kecintaan Nabi Muhammad ﷺ terhadap Madinah. 

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ، وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ، حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

Nabi ﷺ ketika kembali dari sebuah perjalanan, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Jika beliau menunggangi unta maka beliau memacunya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah (HR. Bukhari no. 1886 & Tirmidzi no. 3441).

Mengapa Nabi Muhammad ﷺ juga mencintai Madinah? 

Tentu salah satu alasannya adalah kota dan penduduk Madinah telah menyambut Nabi ﷺ dan kaum muhajirin dengan sangat baik, ketika mereka datang dalam kesusahan. Nabi ﷺ dan kaum muhajirin pun dapat melangsungkan kehidupan dan dakwah mereka secara aman dan tenteram. Dari Madinah-lah, cahaya Islam semakin berkobar. Oleh karena itu, tak aneh bila Nabi Muhammad ﷺ juga begitu mencintai Madinah. 

Dengan alur berpikir demikian, tentu boleh saja bagi kita mencintai tanah air kita yang telah memungkinkan kita untuk tumbuh, mencari nafkah, dan beribadah dengan tenang dan aman. 

Jika Nabi Muhammad ﷺ mempercepat untanya agar bisa tiba lebih cepat di Madinah, kita pun dapat merasakan hal yang sama ketika pulang kampung atau, misalnya, saat kita pulang ke Indonesia dari luar negeri selepas umrah, haji, atau perjalanan dinas. Hati kita semakin berdebar ketika pesawat mendekati tujuan dan kita bisa mulai melihat Indonesia dari ketinggian. Dan kita pun menjadi tak sabar segera mendarat dan berkumpul kembali dengan keluarga di Indonesia. 

Ibnu Hajar Al-Asqalani menegaskan bahwa hadis tersebut dapat menunjukkan dua makna:

Pertama, keutamaan kota Madinah.

Kedua, pensyariatan cinta tanah air dan merindukannya. 

Badr Al-Din Al-Aini dan Jalaluddin Al-Suyuthi juga sependapat dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani. 

Sahabat yang budiman, memang benar bahwa ungkapan cinta tanah air atau hubbul wathan minal iman bukanlah hadis, tapi merupakan maqalah(perkataan) ulama untuk menunjukkan bahwa mencintai tanah air adalah sifat naluriah manusia terhadap tanah kelahirannya. Selain karena sifatnya yang naluriah, Islam juga mensyariatkan tentang pentingnya cinta tanah air.

Para Nabi, para auliya, para ulama, dan orang-orang saleh memberikan contoh tentang pentingnya mencintai tanah air sendiri. Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an bahkan berdoa kepada Allah untuk negeri yang dicintainya.

رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَهٗ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ

Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS. Al-Baqarah [2]: 126).

Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.

Referensi: Ali Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H, hal. 327, Al-Tahliyah wa Al-Targhîb fî Al-Tarbiyah wa Al-Tahdzîb, Wahbah Al-Zuhaili, Al-Munir fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj, Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, Juz V, 1418 H, hal. 144, Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith, Damaskus: Dar Al-Fikr, Juz I, 1422 H, hal. 342, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, Juz III, 1379 H, hal. 621., Badr Al-Din Al-Aini, Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabi, Juz X, hal. 135, Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Tausyih Syarh Jami Al-Shahih, Riyad: Maktabah Al-Rusyd, Juz III, 1998, hal. 1360. 



*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Share it:

Hukum

Islam

Tanya Jawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching