Tanya Kiyai: Ingin Masuk Islam Terbentur Keluarga?
Pertanyaan (Andrea, bukan nama sebenarnya):
Saya adalah seorang non-muslim. Saya sudah tidak mempunyai kedua orang tua. Sekarang saya tinggal dengan kakak dari ibu saya yang juga seorang nasrani. Sebenarnya saya ingin sekali untuk memeluk Islam, tetapi kakak dari ibu saya sangat tidak suka jika saya sampai berpindah agama. Nah, yang saya inginkan tanyakan adalah apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya melawan beliau karena tidak tidak membolehkan saya memeluk Islam? Apakah saya dosa?
Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):
Memperoleh hidayah (petunjuk untuk memeluk agama Islam) adalah salah satu nikmat yang besar dari Allah. Hidayah merupakan kewenangan Allah. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pun tidak punya kuasa untuk memberikan hidayah kepada beberapa keluarga (paman) beliau agar masuk Islam.
Allah berfirman:
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ - ٥٦
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (QS. Al-Qashash [28]: 56).
Dengan demikian, beruntunglah kita yang mendapatkan hidayah dari Allah untuk menjadi seorang muslim. Selain itu, kewajiban bagi orang yang diberikan hidayah itu adalah memeliharanya dengan mempelajari Islam secara komprehensif, sungguh-sungguh, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jika seseorang pada mulanya adalah non-muslim, kemudian terdapat dorongan kuat dari hatinya untuk masuk Islam, di mana dorongan itu murni berasal dari hati nuraninya, bukan karena paksaan, bukan pula karena tujuan duniawi, maka sesungguhnya ia telah mendapat hidayah Allah.
Di samping itu, jika di dalam hatinya juga ia telah beriman kepada Allah, Al-Qur’an, Nabi Muhammad ﷺ dan semua ajarannya, maka sesungguhnya ia telah menjadi mukmin di sisi Allah.
Namun, untuk membuktikan keimanannya dan dengan itu juga agar ia bisa diperlakukan sebagai muslim di hadapan manusia, maka konsekuensinya ia harus mengikrarkannya dengan membaca dua kalimat syahadat.
Lalu bagaimana jika situasinya ingin memeluk Islam tapi di keluarga tidak mendapatkan izin?
Allah berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۗوَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۗاِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ - ٨
Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Al-Ankabut [29]: 8).
Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa yang dialami oleh Sa’d bin Abi Waqqash, sahabat Nabi ﷺ. Sa’d adalah seorang yang berbakti kepada ibunya. Ketika ia masuk Islam, ibunya berkata kepadanya, “Tinggalkanlah agamamu (Islam), jika tidak, maka aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati. Lalu kau akan diolok-olok karena dianggap membunuh ibumu sendiri.”
Sa’d menjawab, “Wahai ibuku, seandainya pun engkau mempunyai seratus nyawa, lalu keluar satu persatu, maka tidak akan aku tinggalkan agamaku ini. Jika engkau mau, makanlah, jika tidak mau makan, maka janganlah makan.”
Singkat cerita, sebagai seorang Ibu, melihat keteguhan dan keyakinan Sa’d terhadap Islam membuat sang ibu akhirnya luluh dan mau makan.
Sementara itu, dalam Surat lain, Allah juga berfirman:
وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ - ١٥
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Luqman [31]: 15).
Dua ayat di atas, sesungguhnya Allah secara tegas melarang anak untuk mengikuti ajakan atau perintah kedua orang tuanya untuk menyembah selain Allah. Menolak perintah orang tua dalam masalah ini, bukanlah sesuatu yang terlarang dan menyebabkan dosa. Sebaliknya, menuruti perintah mereka untuk menyembah selain Allah justru berdosa, bahkan dosa besar, karena menyekutukan Allah (musyrik) adalah dosa besar.
Di sini, perintah Allah harus diprioritaskan lebih dahulu daripada perintah selain-Nya. Apalagi kerabat yang melarang untuk masuk Islam ternyata bukanlah orang tua kandung, melainkan bibi atau paman dari pihak ibu. Bagaimana pun, kedudukan bibi dan paman tidaklah sama dengan kedudukan kedua orang tua, karena Anda bukanlah ahli warisnya.
Namun demikian, Allah tetap memerintahkan agar setiap manusia harus tetap berbuat baik kepada kedua orang tua, paman, bibi atau siapa pun kerabat mereka yang non-muslim. Dalam pergaulan sosial sehari-hari, kita tetap harus berkomunikasi, saling berkunjung, saling memberi bantuan atau hadiah yang tidak terkait dengan urusan akidah. Tujuannya adalah untuk menjaga hubungan baik dengan mereka semua.
Sahabat KESAN yang budiman, terkait masalah Sahabat di atas, jika Sahabat telah yakin akan kebenaran Islam dan ingin menjadi seorang muslim tanpa paksaan siapa pun, maka masuklah ke dalam Islam dengan penuh keyakinan, sebab hidayah Allah yang sahabat dapatkan adalah suatu nikmat yang amat besar.
Terkait penolakan yang dilakukan oleh paman atau bibi Sahabat, Sahabat bisa mengkomunikasikannya lebih lanjut dengan cara baik-baik. Barangkali dengan komunikasi yang baik itu, Allah akan membukakan hati paman dan bibi Sahabat untuk bisa memaklumi pilihan berkeyakinan Sahabat tersebut. Dari pengalaman kami, seringkali cara komunikasi yang baik, tidak emosi, serta adab yang mulia dapat meluluhkan hati yang keras.
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Muhammad bin Jarir Ath-Thabari; Tafsir Ath-Thabari Al-Qurthubi; Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Al-Fakhr Ar-Razi; Mafatih Al-Ghaib, Al-Husain Al-Baghawi; Tafsir Al-Baghawi
###
*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar