Siapa Telah Kentut, Tak Perlu Diusut!
Suatu hari ketika para sabahat sedang berkumpul menikmati sajian daging unta di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah seorang dari mereka ada yang kentut. Bau tak sedap segera menghampiri hidung para sahabat dan hidung Rasulullah. Baunya sangat kuat hingga seorang sahabat berdiri seraya mengatakan siapa pun yang merasa telah kentut hendaknya berdiri. Tetapi tak seorang pun dari mereka bangkit dan berdiri.
Mengetahui hal itu, Rasulullah tidak mendorong di antara para sahabat yang merasa telah kentut supaya berdiri. Beliau hanya diam sehingga bisa ditafsirkan bahwa beliau tidak mendukung upaya dari salah seorang sahabat yang hendak mencoba “mengusut” siapa telah kentut. Percobaan itu semakin jelas ketika kemudian ia dan beberapa sahabat lainnya mengatakan: “Orang yang kentut pasti akan berwudhu setelah ini. Dan orang itulah yang kentut.” Mendengar hal itu, Rasulullah mengajak para sahabat untuk berwudhu meskipun mereka semua belum batal wudhunya. Setelah itu semua orang yang berkumpul di masjid mengambil air wudhu atas seruan Rasulullah sebelum Bilal mengumandangkan adzan Isya’ sehingga tak diketahui siapa yang sebenarnya telah kentut karena semua orang mengambil air wudhu sebelum melaksanakan shalat itu. Begitulah cara Rasulullah menunjukkan ketidaksetujuannya atas upaya “pengusutan” siapa telah kentut – tidak dengan melarangnya secara tegas - tetapi cukup dengan tidak membuka celah terungkapnya kasus itu dengan cara menyerukan semua orang berwudhu supaya tidak diketahui siapa yang sebenarnya telah kentut, hingga tidak ada di antara para sahabat yang harus menanggung malu. Bagaimanapun kentut di tengah kerumunan orang banyak adalah suatu aib. Hal yang menarik dalam masalah ini adalah Rasulullah menyeru kepada para sahabat untuk berwudhu - meski belum batal - sebelum menunaikan shalat Isya’ saat itu. Rasulullah tidak secara langsung mengaitkan wudhu itu dengan percobaan pengusutan kasus siapa telah kentut yang dilakukan salah seorang sahabat, tetapi mengaitkannya dengan daging unta yang telah mereka makan bersama pada malam itu di masjid. Seruan itu adalah sebagaimana hadits berikut ini:
عن البراء بن عازب، قال: سُئل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - عن الوضوء من لحوم الإبل، فقال: توضَّؤوا منها، وسُئِل عن لحوم الغنم، فقال: لا توضَّؤوا منها
Artinya: “Dari al-Barra’ bin Azib, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang status wudhu akibat (makan) daging unta. Maka beliau menjawab: “Berwudhulah kamu disebabkan daging unta. Beliau juga ditanya berkaitan daging kambing. Maka beliau menjawab: Jangan berwudhu disebabkan daging kambing” (HR. Abu Dawud). Hadits tersebut ternyata dipahami secara berbeda di antara para sahabat dan tabiin sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka yang melihat seruan itu sebagai hadits ahkam, yakni hadits yang memuat tentang hukum-hukum Islam, berpedapat bahwa makan daging unta membatalkan wudhu sehingga barang siapa hendak shalat dan sebelumnya telah makan daging unta supaya berwudhu terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Nawawi sebagai berikut:
فاختلف العلماء في أكل لحوم الجزور وذهب الاكثرون إلى أنه لاينقض الوضوء ممن ذهب إليه الخلفاء الأربعة الراشدون… وذهب إلى انتقاض الوضوء به أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه ويحيى بن يحيى وأبو بكر بن المنذر وبن خزيمة واختاره الحافظ أبو بكر البيهقي
Artinya: “Ulama berbeda pendapat tentang status hukum makan daging unta. Mayoritas ulama berpendapat, makan daging unta tidak membatalkan wudhu. Di antara yang berpendapat demikian adalah empat Khulafa’ Rasyidin, sementara ulama yang berpendapat makan daging unta membatalkan wudhu, diantaranya adalah Imam Ahmad, Ishaq bin Rahuyah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hafidz al-Baihaqi as-Syafii. (lihat Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy, Dar al-Kitab al-‘Ilimiyyah, Beirut, Juz III, 1971, 42).
Jadi Imam Ahmad, Ishaq bin Rahuyah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hafidz al-Baihaqi as-Syafi’i berpendapat bahwa makan daging unta membatalkan wudhu karena mereka memahami hadits di atas sebagai hadits ahkam. Sedangkan Khulafaur Rasyidin dan mayoritas ulama memahaminya lebih sebagai hadits tarbawi, yakni hadits yang memuat tentang pendidikan, seperti pendidikan akhlak, dan sebagainya. Maksudnya adalah substansi hadits tersebut menganjurkan kepada para sahabat untuk menutup aib salah seorang di antara mereka karena telah kentut dalam suatu majelis di mana Rasulullah berada di situ dengan maksud agar pelakunya tidak kehilangan muka karena merasa sangat malu diketahui publik, khususnya oleh Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Upaya menutup aib itu dirasa penting sebab tidak masuk akal orang yang kentut tersebut bersengaja melakukan hal itu di tengah majelis yang di situ ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimanapun orang tersebut adalah sahabat Rasulullah yang tidak perlu diragukan lagi kesalihan dan kemuliaan akhlaknya. Oleh karena itu, para Khulafaur Rasyidin dan mayoritas ulama tidak memandang hadits di atas sebagai hadits ahkam sebab dengan memperhatikan asbabul wurud-nya, mereka lebih meyakini hadits itu adalah hadits tarbawi terutama jika dihubungkan dengan hadits lain tentang perlunya menutup aib sesama saudara seiman sebagai berikut:
مَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya: “Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Tirmidzi). Kesimpulannya, barang siapa di antara orang-orang yang tidak diragukan lagi integritas dan moralitasnya telah kentut dalam suatu majelis, maka tidak perlu ada upaya pengusutan siapa telah kentut. Hal ini untuk menutup aib pelakunya yang diyakini tidak bersengaja telah kentut dengan niat tidak baik. Namun prinsip ini kurang tepat diberlakukan bagi kalangan orang-orang yang sedang dalam proses pendidikan karakter seperti para murid atau santri. Pengusutan siapa telah kentut di tengah majelis di kalangan mereka yang sedang menjalani masa pendidikan dirasa tetap perlu hingga batas-batas tertentu, termasuk dalam hal sanksi yang akan diberikan sebab terkadang memang ada di antara mereka yang sengaja kentut di tengah keramaian banyak orang sebagai iseng untuk menimbulkan kekacauan tertentu. Iseng seperti ini jelas tidak baik karena tidak sopan dan termasuk su’ul adab.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar