ikl Tanya Kiyai: Pilihlah Ulama yang Dibenci Kafir? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Kiyai: Pilihlah Ulama yang Dibenci Kafir?

Share it:
Tanya Kiai: Pilihlah Ulama yang Dibenci Kafir? 

Pertanyaan (Rafiz, bukan nama sebenarnya):

Benarkah kita harus memilih ulama yang dibenci kafir (konon kata Imam Syafii)? Apakah ini pendapat yang benar, soalnya saya sering melihat video-video yang berisi ceramah seperti itu?

Lalu, apa itu definisi ulama?  

Jawaban (Kiai Muhammad Hamid):

Banyak beredar di tengah masyarakat sebuah kutipan tentang acuan dalam memilih ulama. Kutipan tersebut berisi perintah untuk memilih ulama yang dibenci oleh orang-orang kafir. Pernyataan itu banyak beredar dalam bentuk video, meme, dan tulisan yang disebarkan via whatsapp atau media sosial lainnya. Bahkan, tidak sedikit dari para pendakwah yang ikut mengutipnya dalam ceramah mereka.

Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang hal tersebut dan menuntut umatnya dalam memilih ulama?

Kutipan “Ulama yang patut diikuti adalah ulama yang dibenci kafir/munafik/fasik atau banyak terkena fitnah” dan ragam versinya sering dinisbatkan kepada Imam Syafii. 

Salah satu teks Arabnya adalah:

سُئِلَ الْإِمَامُ الشَّافِعِي رَحِمَهُ اللَّهُ: كَيْفَ نَعْرِفُ أَهْلَ الْحَقِّ فِي زَمَنِ الْفِتَنِ؟ فَقَالَ: اِتَّبِعْ سِهَامَ الْعَدُوِّ فَهِيَ تُرْشِدُكَ إِلَيْهِمْ

Imam Syafii ditanya, “Bagaimana kami mengetahui pengikut kebenaran di zaman (penuh) fitnah? Beliau menjawab, “Ikutilah panah-panah musuh (mengarah kepada siapa), maka itu akan menunjukimu pada mereka”.

Kami mencoba melacaknya dalam kitab-kitab yang ditulis Imam Syafii dan murid-murid beliau, tetapi tidak menemukannya. Kami juga melacak kutipan tersebut dalam kitab-kitab tarikh (sejarah) seperti Al-Kamil Fi At-Tarikh karya Ibnu AtsirTarikh Al-Islam karya Adz-DzahabiAl-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir, dan kitab-kitab lainnya, tetapi tidak kami temukan kutipan tersebut atau yang serupa itu. 

Tidak hanya itu, kami juga melacak kitab-kitab biografi ulama (thabaqat), seperti kitab Siyar A’lam An-Nubala’ karya Az-DzahabiThabaqat Asy-Syafiiyyah Al-Kubra karya As-SubukiLisan Al-Mizan karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, atau kitab kontemporer Al-A’lam karya Az-Zirikli. Lagi-lagi, tidak juga kami temukan kutipan di atas, baik dinyatakan oleh Imam Syafii ataupun yang lainnya.

Sementara itu, cendekiawan muslim Prof. Nadirsyah Hosen juga pernah melakukan pelacakan serupa dan juga tidak menemukan kutipan tersebut bersumber dari Imam Syafii. Akhirnya, Prof. Nadirsyah mengontak Syekh Ibrahim As-Syafii, seorang ulama keturunan langsung dari Imam Syafii. Syekh Ibrahim pun "tidak menemukan kutipan tersebut dalam kitab manapun baik dari Imam Syafii maupun dari murid-murid sang Imam."

Dengan demikian, sampai saat ini, kami menyimpulkan bahwa kutipan tersebut adalah kebohongan atas nama Imam Syafii atau atas nama ulama yang disebutkan oleh si pengutip, kecuali pengutip mampu menunjukkan sumber kutipan tersebut yang bersumber dari kitab karya-karya ulama yang mu’tabarah (yang bisa dipertanggungjawabkan).

Jika terjadi perdebatan antara orang yang mengutip ungkapan di atas dan orang yang menolaknya, maka pengutip harus mampu menyebutkan sumber dan membuktikan kebenaran kutipannya. 

Pasalnya, dalam teori penyampaian sebuah riwayat hadis, ucapan para sahabat Nabi ﷺ, atau ucapan para ulama, yang diselidiki kredibilitasnya adalah penyampai riwayat (rawi), bukan pendengar atau penerima riwayat, sehingga kualitas berita yang ia riwayatkan dapat dinilai sahih (kuat), hasan (baik),  dha’if (lemah), atau maudhu’ (palsu).

Seandainya kutipan di atas memakai standar hadis, maka bisa dikatakan maudhu’ (palsu). Dan seorang muslim seyogianya tidak menyebarluaskan kebohongan dan kepalsuan atau yang kini sering disebut hoaks. 

Definisi ulama

Kata “ulama” secara bahasa merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “alim” yang artinya “orang yang berilmu”. Dengan demikian, “ulama” artinya adalah “orang-orang yang berilmu”. Ilmu itu sendiri memiliki cakupan yang sangat luas, tapi hakikatnya adalah pengetahuan yang dengannya seseorang menjadi takut kepada Allah. 

Allah berfirman:

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ

Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama (QS. Fatir [35]: 28).

Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali (w. 1393 M) mengatakan bahwa siapa pun yang lebih mengetahui Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukumnya, maka ia lebih takut dan lebih bertakwa kepada Allah. Kadar takut dan takwa seseorang kepada Allah sesuai dengan kadar pengetahuan tentang-Nya. 

Imam Abdur Ra’uf Al-Munawi (w. 1622 M) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya dinamakan ushuluddin (Ilmu Tauhid dan Akidah), pengetahuan tentang hukum-hukum-Nya disebut furu’uddin (Fikih dan Kaidah Fikih), pengetahuan tentang kalam-Nya disebut Ilmu Al-Qur’an dan segala yang berkaitan dengannya, dan pengetahuan tentang perbuatan-Nya adalah mengetahui hakikat segala sesuatu.

Imam Al-Ghazali (w. 1111 M/505 H) membagi ilmu secara umum menjadi dua bagian.

Beliau berkata:

إِنَّ الْعِلْمَ عِلْمَانِ عِلْمُ مُعَامَلَةٍ وَعِلْمُ مُكَاشَفَةٍ وَهُوَ الْعِلْمُ بِاللَّهِ وَبِصِفَاتِهِ الْمُسَمَّى بِالْعَادَةِ عِلْمَ الْمَعْرِفَةِ. فَأَمَّا الْعِلْمُ بِالْمُعَامَلَةِ كَمَعْرِفَةِ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَمَعْرِفَةِ أَخْلَاقِ النَّفْسِ الْمَذْمُومَةِ وَالْمَحْمُودَةِ وَكَيْفِيَّةِ عِلَاجِهَا وَالْفِرَارِ مِنْهَا فَهِيَ عُلُومٌ لَا تُرَادُ إِلَّا لِلْعَمَلِ

Sesungguhnya ilmu itu ada dua, yaitu ilmu mu’amalah (bersosialisasi) dan ilmu mukasyafah yaitu mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya yang dinamakan secara adat dengan ilmu al-ma’rifah. Adapun pengetahuan mu’amalah adalah seperti mengetahui halal dan haram, mengetahui akhlak-akhlak jiwa yang tercela dan terpuji, mengetahui cara mengobati akhlak tercela dan menghindarinya. Ilmu mu’amalah adalah ilmu-ilmu yang tidak dimaksudkan kecuali untuk diamalkan.

Ulama itu berilmu dan mengamalkan ilmu

Imam Al-Ghazali menambahkan bahwa setiap ilmu yang dimaksudkan untuk diamalkan, maka ilmu tersebut tidak akan berharga tanpa adanya pengamalan. Dengan begitu, maka yang dimaksud ulama adalah orang yang di dalam dirinya terhimpun ilmu (wawasan keagamaan) dan sikap mau mengamalkan ilmu sebagai implementasi dari ilmu tersebut. 

Ulama Nusantara KH. Hasyim Asy’ari mengutip kalimat dari ulama fikih Al-Qadhi Ibnu Jama’ah (w. 1333 H) mengatakan bahwa semua keutamaan ulama yang disebutkan dalam Al-Qur’an, hadis atau perkataan sahabat Nabi ﷺ ditujukan untuk ulama yang  mengamalkan ilmunya, bertakwa, dan mencari ridha Allah dengan ilmunya serta kedekatan dengan-Nya di surga, bukan ulama yang mencari tujuan duniawi berupa pangkat, harta, atau banyaknya pengikut, simpatisan atau murid.

Rasulullah ﷺ bersabda:

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak (HR. Abu Dawud no. 3641; hadis sahih munurut Imam Ibnu Hibban).

Tingkatan ulama

Ada beberapa tingkatan ulama dalam aspek hukum. Secara garis besar terbagi menjadi dua tingkatan.

Pertama, mujtahid adalah orang yang mampu menggali hukum dari sumbernya. Ada banyak syarat ketat bagi seseorang untuk mencapai tingkatan mujtahid. Di antaranya, bersih dari sifat-sifat yang menyebabkan fasik atau jatuhnya harga diri atau wibawa, dan berjiwa fikih (suatu fase di mana seseorang telah mampu untuk memahami nash-nash Al-Qur’an, hadis, dan cermat dalam mengeluarkan hukum-hukum fikih dari dalamnya). Kemampuan ini harus sudah menjadi naluri di dalam dirinya sehingga ia tidak  memerlukan upaya keras untuk menemukan jiwa fikih tersebut.

Sementara itu, mujtahid juga terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi disebut mujtahid mustaqil, yaitu seperti imam empat mazhab (Imam Abu HanifahImam MalikImam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal). 

Tingkatan terendah disebut mujtahid al-fatwa wa at-tarjih, yaitu mereka berjiwa fikih, hapal mazhab imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, mengerjakan ketetapan dalil-dalil tersebut dan membantu sang imam dengan mendeskripsikan, mengupas, dan menguatkan mazhab imamnya. Di antara ulama yang termasuk tingkatan kedua ini adalah Imam Nawawi (w. 1278 M/676 H). Bahkan dikatakan beliau adalah ulama terakhir yang mampu mencapai tingkatan ini. 

Kedua, muqallid (orang yang mengikuti/orang yang bertaklid). Ulama yang hapal terhadap seluruh pendapat-pendapat mazhabnya berada dalam tingkatan tertinggi, seperti Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 1567 M), Imam Ar-Ramli (w. 1596 M), atau Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 1505 M).

Memilih ulama

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa fenomena pemberian gelar “ulama” kepada seseorang yang masif terjadi di tengah masyarakat adalah hal yang belum tentu mendapatkan penilaian yang sama di sisi Allah.

Kemuliaan di sisi Allah adalah satu hal, sedangkan popularitas di tengah masyarakat adalah hal yang lain.

Terkait memilih ulama, ulama Hanafi Syeikh Burhanuddin Az-Zarnuji (w. 1194 M/591 H) mengatakan:

وَأَمَّا اخْتِيَارُ الأُسْتَاذِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَخْتَارَ الْأَعْلَمَ وَالْأَوْرَعَ وَالْأَسَنَّ

Adapun memilih ustadz, maka pencari ilmu harus memilih yang paling alim (menguasai ilmu), paling wara’ (menjaga diri dari keharaman), dan paling tua.

Imam Malik (w. 795 M) pernah menulis surat kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid yang isinya:

إذَا عَلِمْت عِلْمًا فَلْيُرَ عَلَيْك أَثَرُهُ وَسَمْتُهُ وَسَكِينَتُهُ وَوَقَارُهُ وَحِلْمُهُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

Apabila engkau mempelajari ilmu, maka lihatlah jejaknya (ulama), sifatnya, ketenangannya, kewibawaannya, dan kemurahan hatinya, karena Rasulullah ﷺ bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi”.

Wallahu a'lam bish-shawabi. 

Referensi: Ta’lim Al-Muta’allim; Burhanuddin Az-Zarnuji, Ihya’ Ulum ad-Din; Al-Ghazali, Faidh Al-Qadir; Abdur Ra’uf Al-Munawi, Tadzkirah As-Sami’ wa Al-Mutakallim; Ibnu Jama’ah, Al-Ijtihâd wa Thabaqât Mujtahidî Asy-Syâfiʻiyyah; Hasan Hito.

 ###

*

Share it:

Hukum

Islam

tanyajawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching