Ketika serang donatur memutuskan untuk melakukan donasi terhadap suatu kegiatan sosial maka besaran donasi itu pada dasarnya bisa ia sampaikan secara langsung atau lewat wakil (relawan penghimpun dana). Wakil merupakan pihak yang secara langsung ditunjuk oleh donatur untuk menyerahkan donasinya kepada yang berhak menerima.
Apabila kegiatan donasi itu ditangani secara langsung oleh sebuah kepanitiaan, maka ketua panitia menduduki peran penanggung jawab (dlamin) terhadap semua hasil donasi yang dihimpun. Peran dlamin ini meniscayakan bahwa apabila terjadi kasus kerusakan (itlaf) terhadap barang yang didonasikan maka ia yang secara langsung bertanggung jawab terhadap kerusakan tersebut, sampai kemudian donasi yang diserahkan bisa disalurkan sebagaimana mestinya.
Apa akad penyerahan donasi seorang donatur kepada wakil donatur seperti ini?
Jawabnya adalah sebagaimana judul tulisan ini yang akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan wakil donatur, maka akad yang berlaku adalah akad wakalah, yaitu akad perwakilan/mengangkat wakil.
Akad Wakalah dalam Fiqih Muamalah
Akad wakalah pada dasarnya merupakan sebuah akad penyerahan sesuatu kepada orang lain selaku wakil untuk menggantikan pihak yang menyerahkan (muwakkil) dalam mengerjakan sesuatu yang menjadi tugasnya. Pekerjaan yang wajib dilakukan oleh wakil adalah pekerjaannya muwakkiil. Waktu pengerjaan tugas itu adalah sebelum pihak muwakkil meninggal. Kedudukan wakil terhadap muwakkil dalam pekerjaan itu adalah selaku naib (pengganti).
Adanya keharusan dilakukan oleh wakil sebelum pihak muwakkil meninggal ini merupakan pembeda antara akad wakalah dengan akad washiyah (wasiat). Sebab, akad washiyah merupakan penyerahan sesuatu kepada pihak penerima wasiat agar melakukan pekerjaan setelah pihak yang mewakilkan meninggal dunia.
Akad wakalah pada dasarnya merupakan cabang dari akad ijarah (sewa jasa) sehingga basis peran yang dibutuhkan adalah pekerjaannya wakil. Bedanya dengan akad ijarah, di dalam akad wakalah ini, tidak ada ketetapan mengenai besaran upah yang harus diterima oleh pihak wakil.
Jika besaran upah itu ditetapkan maka akad wakalah ini pada dasarnya adalah akad ijarah. Bila ujrahnya wakil meningkat seiring capaian, maka akadnya merupakan akad ju’alah. Sifat upah tersebut menduduki posisi ju’lu (bonus). Dan apabila besaran upah itu tidak ditetapkan baik secara pasti atau secara capaian prestasi, maka itulah esensi dari akad wakalah, yang mana landasan utamanya adalah akad tabarru’ (kerelaan).
Berangkat dari relasi akad tabarru’ ini, maka dapat diketahui bahwa hukum berprofesi menjadi wakil adalah sebuah kesunnahan. Mengapa? Sebab sifat dari tabarru’ sendiri merupakan adalah akad yang semata dikerjakan karena niat ikhlas menolong orang lain yang membutuhkan, semata niat mencari pahala dari Allah subhanahu wata’ala.
Dan yang paling penting untuk diketahui adalah:
- Apa pun bentuk penyerahan manfaat barang atau manfaat suatu pekerjaan, yang diiringi dengan adanya penyerahan iwadl (ganti dari manfaat atau pekerjaan), maka hakikatnya akad itu termasuk akad ijarah.
- Demikian halnya, apabila sesuatu yang diserahkan merupakan barang manfaat, namun ada iwadl (ganti) penyerahan barang tersebut, sehingga barang dapat dikuasai selamanya oleh pihak yang menerima penyerahan, maka akad itu termasuk akad jual beli.
Donatur, Wakil Donatur, dan Tugas Lembaga Donasi dalam Syariat
Ketika seorang donatur menyerahkan suatu barang kepada wakil donatur agar barang itu disampaikan kepada orang lain, tanpa adanya harapan untuk kembalinya barang dan tanpa adanya ‘iwadl (pengganti barang), maka barang dalam konteks ini kedudukannya adalah menempati derajat sebagai 3 kelompok harta, yaitu: (1) sebagai zakat, (2) sedekah, atau (3) hibah.
Dinamakan zakat bila barang itu dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban syara’ dari diri muwakkil. Menempati derajat harta sedekah atau hibah, manakala barang itu dimaksudkan tidak untuk memenuhi kewajiban, melainkan hanya semata karena Allah SWT atau berlaku baik. Alhasil, pihak yang berperan selaku wakil dari donatur dalam kasus ini adalah menempati derajatnya pihak yang berperan selaku ‘amil terhadap harta sedekah atau hibah.
Jika menilik bahwa lembaga donasi itu ada banyak macam wujudnya, maka bermacam-macam pula hukum yang berkaitan dengan penyaluran terhadap objek barang yang didonasikan.
Pertama, bila lembaga donasi itu memiliki judul yang spesifik atau mu’ayyan (misalnya: donasi untuk banjir), maka secara tidak langsung barang yang disalurkan oleh pihak lembaga donasi, hukumnya menjadi wajib disalurkan khusus sesuai dengan judul tersebut, yaitu korban banjir. Apabila bencana banjir sudah selesai ditangani, sementara masih ada sisa berupa barang yang didonasikan, maka barang tersebut hukumnya menjadi amanah untuk penyalurannya terhadap korban di lokasi yang sama. Catatan ini penting untuk dimengerti seiring sifat dari barang yang didonasikan sudah ditentukan dasar penggunaannya oleh lembaga itu sendiri. Tidak dibenarkan menyalurkan bantuan itu ke tempat lain mengingat sifat wakalah yang diambil adalah termasuk kategori wakalah muqayyadah (wakalah khusus) yang dibatasi oleh tempat dan waktu.
Kedua, bila lembaga donasi itu memiliki judul yang bersifat umum (misalnya: Lembaga Peduli Bencana Indonesia/LPBI), maka secara umum bantuan yang disalurkan oleh seorang donatur ke lembaga bantuan seperti ini adalah masuk ke dalam akad penyerahan wakalah muthlaqah (wakalah umum) yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat kejadian. Alhasil, ketentuan yang berlaku atas donasi yang disampaikan oleh donatur adalah hanya bersifat khusus pada bencana dan aktivitas tanggap darurat bencana. Bahkan, jika terjadi kecukupan pada wilayah bencana satu, kemudian ada bencana di wilayah lain, maka penyaluran donasi ke bencana lain ini tetap dibenarkan disebabkan relasi akad wakalah muthlaqah tersebut.
Kedudukan Lembaga Donasi terhadap Donasi dan Bantuan Barang
Selaku wakil dari donatur, maka peran utama dari lembaga donasi adalah memposisikan dana/barang dari donatur sebagai barang amanah. Terhadap setiap barang amanah, berlaku ketentuan sebagaimana sifat amanah itu harus dilakukan, yaitu:
- Setiap barang amanah wajib disampaikan sesuai dengan amanah itu ditentukan oleh pihak donatur
- Merusakkan barang amanah adalah menghendaki adanya ganti rugi berupa mengganti barang tersebut
- Setiap barang amanah, pada dasarnya harus terdiri dari barang yang bisa untuk ditasarufkan lewat akad jual beli atau disewakan. Alhasil, bila terdapat suatu barang amanah yang tidak layak untuk ditasarufkan lewat akad jual beli atau disewakan, maka secara otomatis barang tersebut tidak sah untuk diwakilkan/disalurkan lewat lembaga donasi. Pihak lembaga donasi bisa “melenyapkan” barang tersebut atau “menyalurkannya” pada pihak lain yang sekira membutuhkan, tanpa adanya ikatan harus mengganti.
- Dalam kasus wakalah muthlaqah (tanpa judul spesifik), sebagaimana hal ini berlaku pada lembaga yang memiliki nama lembaga peduli bencana, tanpa harus menisbahkan pada bencana tertentu di suatu daerah, maka pihak lembaga boleh mengambil sebagian dari donasi tersebut untuk kepentingan operasional. Alasannya adalah sebab penyerahan suatu barang untuk disalurkan ke ruang tertentu, secara tidak langsung mengandaikan izin penggunaan sebagian dari barang itu guna mencapai maksud dari pihak yang mewakilkan. Alhasil, penggunaan sebagian donasi yang terkumpul untuk kebutuhan administrasi penyaluran adalah dibolehkan.
- Besaran donasi yang dipergunakan untuk kebutuhan administrasi dan akomodasi menuju lokasi bantuan ditentukan berdasarkan ujrah mitsil (upah standar) kebutuhan biaya menuju lokasi tersebut.
Demikian, sekilas akad wakalah yang berlaku atas relasi donatur, wakil donatur dan donasi yang terkumpul akibat aksi penggalangan dana. Bagaimanapun juga, hal-hal sebagaimana tersebut dalam ketentuan akad wakalah, secara tidak langsung berpengaruh terhadap peran lembaga donasi dan sekaligus sifat penyaluran dana yang ada. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat! Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar