Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam Islam. Ada ketentuan yang harus dilakukan agar pernikahan itu berlangsung sebagai sah secara syara’. Di antaranya adalah wajib adanya wali, adanya kedua mempelai, adanya shighah ijab dan qabul, dan adanya saksi yang adil. Tanpa keberadaan pihak-piihak tersebut, pernikahan dianggap sebagai batal, kecuali adanya perwakilan.
Pada kesempatan ini, kita akan membahas soal perwakilan wali. Wali merupakan salah satu rukun nikah. Tidak ada pernikahan tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil (la nikaha illa bi waliyyin wa syahiday ‘adlin).
Karena suatu kondisi tertentu, terkadang wali berhalangan hadir di tempat akan dilangsungkannya suatu resepsi pernikahan. Sudah barang tentu wali yang menduduki urutan pertama dan harus didahulukan adalah wali mujbir, yaitu wali yang berhak memaksa pernikahan, yang terdiri atas bapak (abun) dan kakek (jaddun) calon mempelai perempuan.
Bila keduanya tidak bisa ditemukan karena kondisi meninggal, maka yang berhak adalah wali aqrab sebagaimana bisa dijumpai pada ahli waris ‘ashabah, antara lain secara berurutan, maka terdiri dari saudara kandung laki-laki (akhun syaqiq), saudara seayah (akhun li abin), paman sekandung (‘ammun syaqiq), paman seayah (‘ammun li abin), anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, anak paman sekandung, anak paman seayah. Semakin jauh urutan, maka keberadaan kerabat yang jauh tersebut sering dikenal dengan istilah wali ab’ad. Apabila ketiga kategori wali tidak dijumpai, baru kemudian mempergunakan istilah wali hakim atau muhakkam (orang yang dikukuhkan menempati derajatnya hakim).
Selagi masih ada wali yang bertindak selaku wali yang lebih unggul derajatnya dibanding wali lainnya, maka suatu pernikahan wajib dilakukan dengan keberadaan wali yang lebih dekat secara nasab kepada calon mempelai perempuan.
Lalu, bagaimana bila wali pernikahan tersebut berhalangan hadir disebabkan jarak dan kondisi?
Dalam kondisi seperti ini, hal yang pertama kali harus dilakukan adalah dengan jalan mengangkat wakilnya wali. Mekanisme pengangkatan wakil ini dikenal dengan istilah taukil. Ketentuan yang berlaku dalam melakukan shighah taukil, adalah adanya shighah lafadh yang menegaskan makna perwakilan.
Maksud dari “penegasan” di sini ada dua. Pertama, secara sharih (jelas), yakni menyebut istilah “saya mewakilkan”. Kedua, secara isyarat, yaitu segala sesuatu yang mampu memberi pengertian adanya proses taukil (mengangkat wakil).
Para ulama telah menjabarkan mengenai makna isyarat yang menegaskan taukil ini, antara lain: (1) bisa dilakukan dengan jalan menulis (kitabah), atau (2) dengan jalan berkirim surat (murasalah), atau (3) menggunakan isyarat gerakan/anggota tubuh yang bisa dipahami oleh orang tertentu, misalnya bahasa isyaratnya orang yang penyandang disabilitas wicara atau disabilitas rungu.
Lafadh Taukil Wali dengan Media Digital
Media digital yang dimaksud di sini adalah media komunikasi jarak jauh antara satu orang orang dengan orang lainnya. Media ini menduduki peran wasilah/perantara antara dua orang yang saling berkomunikasi. Contoh dari media telekomunikasi ini, antara lain adalah telepon seluler, layanan pesan singkat, aplikasi perpesanan, telekonferensi (video call), dan sejenisnya.
Secara fiqih, peran wasilah (sarana) telepon seluler dan media telekomunikasi serupa dengan peran “kertas” dalam murasalah (saling berkirim surat), yakni salah satu sarana untuk sahnya proses taukil. Perbedaannya, jika proses taukil itu dilakukan dengan menggunakan kertas, maka kalimat pengangkatan wakil itu bisa diketahui secara pasti (muhaqqaq), karena secara jelas tersurat adanya tulisan, dan ada penegasan pernyataan. Alhasil, surat yang berisi penegasan akad perwakilan bisa dijadikan sebagai bukti (bayyinah) bagi telah terjadinya akad perwakilan.
Lantas bagaimana dengan sifat tulisan yang tertuang di dalam media digittal? Beberapa pendapat menegaskan bahwa tulisan yang terdapat di dalam media digital merupakan yang bersifat kinayah (kiasan). Ia hanya bagian dari suatu hasil pancaran sinar/cahaya. Alhasil, tulisan itu tidak menduduki posisi sharih al-lafdhi (jelasnya teks perwakilan) sehingga berbeda dengan teks yang tertuang di dalam kertas. Teks yang tertuang dalam kertas, secara tegas menempati derajat sharih al-lafdh.
Di sinilah kemudian perdebatan hukum pengangkatan wakil wali itu terjadi, dalam berbagai forum pembahasan dan pengajian hukum. Sebagai imbasnya, perbedaan pendapat itu berkaitan dengan seputar hukum sebagai berikut:
Pertama, menurut pendapat yang arjah (unggul), akad pengangkatan wakil dengan jalan berkirim pesan SMS dan telekonferensi dinyatakan sebagai tidak sah secara syara’, disebabkan adanya perbedaan terhadap unsur yang diqiyaskan, sebagaimana secara tegas unsur itu bisa ditemui pada mekanisme murasalah.
Kedua, menurut pendapat yang juga berstatus ungggul (rajih) setelah melakukan penelitian (tahqiq) terhadap masalah, adalah bahwa akad pengangkatan wakil dengan cara tersebut adalah sah, karena keberadaan beberapa faktor murajjih (indikator penguat) yang mendukung kebenaran dari isi pesan SMS, Whatsapp, dan lain-lain, yang bisa dijabarkan sebagai berikut:
- Secara adat (‘urf), adanya pesan SMS, Whatsapp, telekonferensi, mensyaratkan adanya nomor kontak yang bisa dibuktikan kebenarannya dan bisa dikomunikasikan. Alhasil, kebenaran khabar lewat SMS, whatsapp, telekonferensi, media sosial, bisa didekati lewat beberapa saluran yang dimaksud.
- Orang yang mewakilkan umumnya sering melakukan kontak sosial dengan pihak yang menjadi objek perwakilan atau pihak wakil. Keberadaan ini bisa diperkuat dengan jalan menghadirkan bukti dan saksi
- Peluang adanya penipuan menempati derajat yang lemah seiring perkembangan teknologi, sebab SMS, Whatsapp, dan telekonferensi bisa dibuktikan lewat aksi yang berbasis real time, dan hal ini dapat dengan mudah dibuktikan lewat ‘urf media telekomunikasi itu. Misalnya, dengan mengajaknya mengobrol soal lain, dan ditemukan adanya kesinambungan obrolan (luzumah). Hal semacam ini, secara tidak langsung sudah diterima oleh keumuman masyarakat yang diselimuti oleh tradisi penggunaan media digital.
- Tidak ada orang yang meragukan bahwa setiap ada pesan yang disampaikan oleh satu pihak ke pihak lainnya lewat nomor khusus, sebagai yang diragukan kebenarannya, kecuali ada qarinah (bukti penjelas) yang lain yang menegaskan bahwa nomor tersebut sebagai telah dibajak atau disabotase oleh pihak yang tdiak berkepentingan.
- Penggunaan media sosial, media digital, dan sejenisnya telah menempati derajat dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu lewat UU ITE. Keberadaan hukum/peraturan ini, secara tidak langsung menjadi penjamin kebenaran transaksi elektronik, komunnikasi verbal secara elektronik, sehingga apabila terjadi penyalahgunaan, pihak yang bersangkutan bisa dituntut pertanggungjawabannya (dlaman).
Ketiga, dengan mencermati adanya perbedaan pendapat di atas, maka sebagai solusi keluar dari khilaf hukum pengangkatan wakil wali di atas, maka pemakaian media telekonferensi untuk mengangkat wakil wali hendaknya dipergunakan bila ada dalam kondisi yang terdesak saja, yakni keterhalangan hadir diakibatkan faktor biaya, ruang, dan waktu yang terlampau jauh, kondisi alam yang tidak memungkinkan, misalnya karena gelombang yang tinggi, atau iklim yang kurang bersahabat dengan keamanan.
Pihak yang diliputi oleh kondisi semacam ini, adalah termasuk pihak yang mengalami uzur secara syara’. Selaku pihak yang uzur, maka berlaku baginya keringanan (rukhshah) untuk mengatasi uzur tersebut.
Salah satu rukhshah yang paling dekat dengan aturan mengangkat wakil wali nikah lewat jalan murasalah (berkirim surat), adalah kebolehan mengangkat wakil wali pernikahan melalui media telekonferensi, pesan singkat (SMS), dan media digital lainnya yang penggunaannya bisa dipertanggungjawabkan baik secara sosial dan hukum yang berlaku.
Alhasil, pembolehan pengangkatan wakil lewat SMS atau video Call menempati derajatnya keringanan karena faktor kondisi yang melingkupi wali, dan bukan disebabkan karena faktor dlaruri (pasti). Secara dlaruri, hendaknya wali nikah atau wakilnya, harus hadir ditempat dilangsungkannya akad. Namun, karena udzur syar’i, proses pengangkatan wakil, menghendaki adanya peringanannya.
Semoga tulisan singkat ini bisa menjawab beberapa persoalan netizen yang telah menjapri penulis, bertanya terkait dengan masalah di atas! Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar