AISYAH DAN REMBULAN YANG JATUH DI RUMAHNYA.
Rumah Sayyidah Aisyah menjadi rumah terakhir yang ditinggali Rasulullah, sebelum beliau wafat. Dan Aisyah pun menjadi satu-satunya tumpahan isi hati Rasulullah menjelang kepergiannya. Di hari-hari akhir itu, Rasulullah berbisik kepada Aisyah. “Tidak ada seorang nabi pun yang dicabut nyawanya, kecuali setelah ia diperlihatkan tempatnya di surga kelak.”
Beberapa waktu kemudian, kala detik terakhir hampir tiba, beliau pingsan di pangkuan Aisyah. Ketika sadar, pandangan mata beliau terangkat. Beliau mendesahkan satu kalimat.
اللهم في الرفيق الأعلى
“Duhai tuhanku, kekasih yang luhur…”
Rupanya beliau telah ditunjukkan oleh Allah tempat yang akan dihuninya di surga kelak. Setelah kalimat itu terucap, Aisyah memandangi wajah beliau. Ia menyandarkan kepala beliau di peraduan. Kabar duka kemudian menyebar: Rasulullah, sang manusia sempurna akhlaknya, telah paripurna usianya. Istri-istri beliau berkumpul. Aisyah begitu terpukul.
Di kemudian hari, Aisyah mengenang hari-hari itu. “Sungguh, sebagian dari nikmat nikmat Allah yang diberikan padaku adalah Rasulullah wafat di rumahku, di hariku, dan Allah menyatukan cintaku dan cintanya saat wafatnya.”
Ia bahagia, sekaligus menderita. Dan penderitaan-penderitaan yang berat datang silih berganti di kehidupannya. Apalagi ketika ayahnya dilanda sakit parah.
Kala Abu Bakar berada di titik itu, Aisyah lah yang menjadi teman hidup di detik-detik terakhir sahabat terbaik Rasulullah saw. itu. Abu Bakar menyanjung kebaikan hati putrinya. “Anakku, engkau adalah manusia yang paling kucinta. Aku meninggalkan untukmu tanah di sana dan disana, yang kau pun tahu…” Aisyah terus mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan ayahnya. Hingga Abu Bakar sampai pada kalimat yang menggetarkan hati, “Berapa lapiskah kalian mengkafani Rasulullah?”
Aisyah menjawabnya layaknya cinta anak kepada sang ayah,“Tiga lapis baju putih. Tanpa gamis. Tanpa imamah.” Aisyah menguatkan hatinya. Terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahnya setelah itu.
“Hari apa Rasulullah wafat?”
Hari Senin.
“Ini hari apa?”
Hari Senin.
“Aku berharap aku wafat antara sekarang hingga nanti petang.”Abu Bakar kemudian memandang bajunya yang beraroma za’faran. “Cuci bajuku ini dan tambah dua baju lagi. Kafani aku dengannya.” Abu Bakar sangat menginginkan hari itu menjadi hari terakhirnya. Sebagaimana menjadi hari terakhir manusia yang dicintainya, Rasulullah saw.
Tetapi Allah lah penentu segala kehendak. Beliau wafat tidak pada hari itu. Beliau wafat besoknya, kala hari beranjak sore. Ia pun dimakamkan di kamar Aisyah, di dekat makam Rasulullah saw. Kepala Abu Bakar disejajarkan dengan pundak Rasulullah saw.
Dua peristiwa mengharukan ini, wafatnya Rasulullah dan Abu Bakar di pangkuan Aisyah, seakan menjadi wujud dari mimpi Aisyah suatu waktu dulu.
Ia bermimpi dalam tidurnya bahwa tiga rembulan jatuh di kamarnya. Ia menanyakan mimpi itu kepada ayahnya, Abu Bakar. “Wahai Aisyah. Jika mimpimu itu benar, akan terkubur di rumahmu tiga manusia terbaik di muka bumi ini.”
Ketika Rasulullah wafat dan dimakamkan di kamar Aisyah, Abu Bakar berkata, “Wahai Aisyah. Inilah salah satu rembulan itu. Ia rembulan yang terbaik.” Selain satu rembulan terbaik itu, dua rembulan lainnya adalah ayahnya dan Umar bin Khattab. Ketiganya dimakamkan bersandingan.
Sepeninggal Rasulullah, Sayyidah Aisyah hidup menjanda. Dan waktunya terlewat –40 tahun—dengan tetap menjanda. Ia menetap di kamarnya sepanjang sisa hidupnya, di samping makam al-mushtafa, kekasihnya. Ia tak pergi dari sana kecuali umrah, haji, dan berkunjung ke sanak saudara.
______________________________
Sirah al-Sayyidah ‘Aisyah Umm al-Mukminin. Sayyid Sulaiman al-Nadwi. hal. 151-155.
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar