Apakah ada perkara yang membolehkan kita membatalkan shalat wajib? Misalnya, ketika membawa anak ke masjid, lalu anak tersebut melakukan sesuatu yang mengganggu kekhusyukan jamaah lain. Apakah kita diperbolehkan membatalkan shalat untuk menegur anak tersebut?
Jawaban (Ustadz Zainol Huda):
Semua ulama sepakat bahwa seseorang yang telah memulai suatu ibadah (qurbah) tidak diperkenankan keluar atau membatalkan ibadahnya sebelum selesai secara sempurna. Kesepakatan ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an. Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَلَا تُبْطِلُوْٓا اَعْمَالَكُمْ - ٣٣
Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu (QS. Muhammad [57]: 33).
Perbedaan pendapat di antara ulama ada pada status ibadah. Apakah ketidakbolehan tersebut berlaku secara umum, baik ibadah wajib maupun sunnah?
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik ketidakbolehan tersebut berlaku secara umum, baik ibadah wajib maupun sunnah. Sehingga jika seseorang membatalkan ibadahnya, maka ia berdosa dan wajib mengqada (membayar/mengganti kewajiban yang ditinggalkan tersebut), meskipun berupa ibadah sunnah.
Kelompok ini beralasan bahwa ketika suatu perbuatan telah dimulai, meskipun itu ibadah sunnah, maka ibadah itu tidak boleh digagalkan. Ayat di atas menegaskan bahwa Allah melarang menggagalkan suatu amal perbuatan.
Sementara itu, menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal, khusus untuk ibadah sunnah, diperkenankan untuk tidak merampungkan hingga selesai, dan orang tersebut tidak berkewajiban apa-apa atas ibadah sunnah yang dibatalkan, kecuali ibadah haji sunnah (haji sunnah adalah haji yang dilakukan untuk kedua kalinya, ketiga, dst. setelah haji yang pertama).
Sedangkan untuk shalat sunnah dan puasa sunnah disunnahkan untuk diselesaikan. Kelompok ini berargumen bahwa perbuatan sunnah tergantung oleh pelaku, apakah mau dilanjutkan atau tidak. Jika diwajibkan untuk disempurnakan (ditunaikan sampai selesai), maka akan menyalahi hukum sunnah.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang terpenting adalah para ulama sepakat bahwa perbuatan (ibadah) wajib, semisal shalat lima waktu, tidak boleh digagalkan. Jika digagalkan tanpa alasan yang dibenarkan, maka dihukumi haram.
Namun demikian, ulama fikih kontemporer Syeikh Wahbah Zuhaili menyebutkan beberapa hal yang membolehkan untuk berhenti ketika shalat.
Pertama, wajib berhenti, yakni berhenti, misalnya, karena teriakan seseorang yang minta pertolongan, meskipun tidak secara khusus teriakan minta tolong tersebut ditujukan kepada orang yang sedang shalat tersebut. Misalnya, permintaan tolong orang yang tenggelam dalam air, diserang hewan buas, hendak dizalimi orang lain, dsb.
Selain itu, wajib juga berhenti dari ibadahnya, jika ia mempunyai keyakinan kuat terhadap hal-hal yang akan terjadi dan membahayakan jiwa. Misalnya, saat sedang shalat (sendiri atau berjamaah), tiba-tiba sirene banjir/gempa/tsunami berbunyi, ia boleh membatalkan shalatnya untuk menyelamatkan diri.
Atau bagi mereka yang tinggal di sekitar gunung berapi, ketika mereka sedang beribadah, lalu suara sirene letusan gunung berapi berbunyi, maka mereka boleh membatalkan ibadahnya untuk menyelamatkan diri. Pasalnya, sering kali dalam situasi seperti ini, setiap menit bahkan detik sangatlah vital dalam upaya menyelamatkan diri dan keluarga.
Kedua, hanya boleh berhenti, tidak wajib berhenti. Kondisi tersebut misalnya, menyaksikan terjadinya pencurian harta, meskipun bukan harta miliknya, kekhawatiran seorang ibu terhadap keselamatan anaknya, seorang bidan yang mengkhawatirkan keselamatan bayi atau ibunya saat mau melahirkan, kekhawatiran seorang musafir terhadap pencurian dan pembegalan, hendak menghalau hewan ternak yang melarikan diri/kabur, menahan BAB atau BAK.
Sahabat yang budiman, meninggalkan shalat karena alasan yang mendesak (darurat) secara syar’i dapat dibenarkan. Hal ini sebagaimana bunyi kaidah fikih:
اَلْوَاجِبُ لاَ يُتْرَكُ اِلاَّ لِوَاجِبٍ.
Suatu kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali karena ada kewajiban yang lain.
Wallahu a’lam bi ash-shawabi
Referensi: Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, hal. 207-208, Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Ghayah Al-Wushul Syarh Lubb Al-Ushul, hal. 12 & 28, Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nadhair, hal. 148, Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai’ Al-Bayan, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an, Jilid II, hal. 468, Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid II, hal. 220.
###
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar