Tanya Kiyai: Mahar Bacaan Al-Qur'an?
Pertanyaan (Ahmad Masruri):
Apakah sah mahar pernikahan dengan bacaan ayat Al-Qur’an, misalnya Surat Ar-Rahman?
Jawaban (Ustadz Zainol Huda):
Mahar merupakan salah satu keharusan dalam sebuah akad pernikahan. Dalam terminologi syara’, mahar adalah harta yang menjadi hak istri yang wajib dibayar oleh suami karena terjadinya akad pernikahan di antara keduanya.
Sebagian ulama Hanafi mendefinisikan mahar dengan sesuatu yang menjadi hak perempuan disebabkan terjadinya akad pernikahan atau sebab jimak (persetubuhan badan). Sedangkan menurut ulama Maliki, mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada perempuan sebagai padanan bersenang-senang dengannya.
Sementara ulama Syafii mendefinisikan mahar dengan sesuatu yang wajib, disebabkan akad nikah atau jimak. Adapun menurut ulama Hanbali, mahar adalah upah/imbalan dalam akad nikah, baik disebutkan dalam akad maupunditentukan setelahnya berdasarkan kesepakatan kedua mempelai.
Hikmah diwajibkannya membayar mahar dalam pernikahan antara lain adalah:
1. Menampakkan agungnya kedudukan akad nikah.
2. Memuliakan, menghargai, dan menghormati perempuan. Tak kalah penting, hal ini menunjukkan komitmen untuk membangun mahligai rumah tangga dengan penuh kemuliaan dan keseriusan.
3. Beriktikad baik untuk membina hubungan dan pergaulan yang baik dalam rumah tangga.
Ukuran dan Batasan Mahar
Syariat Islam tidak memberikan batasan tertentu soal kadar mahar dalam pernikahan. Islam mempersilakan (perempuan) menentukan maharnya. Dengan kata lain, tidak ada batas maksimal untuk menentukan mahar.
Namun demikian, dianjurkan juga untuk menentukan mahar yang tidak memberatkan bagi pasangan (laki-laki). Anjuran ini didasarkan pada hadisRasulullah ﷺ:
إِنَّ أَعْظَمَ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرَهُنَّ صَدَاقًا.
Sesunggunya wanita paling besar barakahnya, adalah mereka yang paling mudah (ringan) maharnya (HR. Baihaqi no. 14745).
Anjuran untuk meringankan mahar ini tentu mempunyai tujuan dan hikmah. Hikmah yang paling tampak adalah mendorong kaula muda untuk segera menikah dengan tanpa dipusingkan oleh biaya mahar yang tinggi.
Bagaimanapun, bagi sebagian laki-laki, mahar yang terlampau tinggi mengakibatkan mereka tak mampu menikah. Hal yang demikian, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial yang semakin rumit ke depan.
Dalam hal batas minimal mahar, yang harus diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ulama berbeda pandangan. Menurut ulama Hanafi, batas minimal mahar adalah 10 dirham (sekitar 4.25 gram emas). Ukuran ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ:
لاَمَهْرَ اَقَلُّ مِنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمَ.
Tidak ada mahar dengan ukuran lebih sedikit dari pada 10 dirham (Al-Sunan Al-Kubra li al-Baihaqi, Juz 7, hal. 240).
Selain berdasarkan hadis ini, mereka juga berargumen bahwa kriteria batas minimal mahar menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap posisi kaum perempuan.
Sementara itu, terkait hadis tentang mahar yang menyatakan bahwa mahar hanya diberikan dengan cincin yang terbuat dari besi, hal ini mengacu pada tradisi Arab saat itu, di mana mahar dalam kadar seadanya diberikan terlebih dahulu sebelum si laki-laki mampu memberikan mahar yang sebenarnya.
Adapun menurut ulama Maliki, minimalnya mahar adalah ¼ dinar atau 3 dirham(sekitar 1.06 gram emas). Atau sejumlah barang yang menyamai ukuran tersebut.
Sedangkan menurut ulama Syafii dan Hanbali, mahar tidak mempunyai batas minimal. Kriteria mahar menurut mereka adalah segala sesuatu yang berharga, dapat menjadi mabi’ (objek transaksi jual beli), dan dapat disebut harta/bernilai harta. Oleh karena itu, satu biji kurma atau kerikil tidak bisa dijadikan mahar, karena tidak bernilai harta. Tidak adanya batasan minimal mahar dalam pandangan ulama Syafii dan Hanbali didasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, memberlakukan keumuman ayat Al-Quran, Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana (QS. An-Nisa’, [4]: 24). Ayat ini dianggap tidak memberikan batasan apa pun soal mahar.
Kedua, hadis tentang mahar dengan cincin yang terbuat dari besi.
Ketiga, mahar merupakan hak seorang perempuan yang disyariatkan untuk meneguhkan kedudukan perempuan. Dengan demikian, ketentuan besar dan kecilnya mahar tergantung kerelaan dan kesepakatan kedua mempelai, tidak perlu diberikan batas minimal. Sedangkan kriteria barang yang dijadikan mahar ada tiga: (1) halal dimiliki dan diperjual belikan, (2) jelas kadarnya, dan (3) tidak ada cacat.
Bagaimana dengan mahar berupa jasa, misalnya, mengajarkan Al-Qur’an, atau mengajarkan hukum-hukum agama jika istri menginginkannya?
Menyikapi mahar yang demikian, ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafi, tidak boleh mahar menggunakan jasa mengajarkan Al-Qur’an atau hukum-hukum agama, karena tidak bernilai harta. Dalam pandangan mereka, tidak boleh mengambil upah untuk jasa-jasa tersebut.
Namun, ulama Hanafi kontemporer (muta’akhhirin) membolehkan mengambil upah terhadap jasa mengajarkan Al-Qur’an, sehingga berkonsekuensi kebolehan juga dijadikan mahar.
Sementara itu, ulama Maliki tidak membolehkan mahar dengan jasa mengajarkan Al-Qur’an atau hukum-hukum agama.
Adapun menurut ulama Syafii dan Hanbali, mereka membolehkan mahar menggunakan jasa, seperti mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan Ilmu Sastra, tulis menulis, atau mengajarkan keahlian (skills) tertentu yang dibolehkan secara syara’.
Sahabat yang budiman mahar adalah hak istri dari suami sebagai bentuk penghormatan kepada kedudukan perempuan (istri). Di sini, istri memiliki hak untuk menentukan mahar apa yang dianggapnya bernilai bagi dirinya (tentunya sesuai ketentuan syara’).
Jadi jawaban dari “bolehkah menggunakan bacaan Al-Qur’an atau surat dalam Al-Qur’an sebagai mahar pernikahan” adalah tidak boleh. Sebab bila seorang calon suami membaca atau menghafalkan Al-Qur’an, itu bermanfaat bagi diri sang suami sendiri, dan belum tentu untuk istrinya. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan mahar.
Namun, yang diperbolehkan, jika istri menginginkannya sebagai mahar, adalah untuk suami mengajarkan Al-Qur’an kepada istri. Ini juga sama, misalnya, mengajarkan skills atau keterampilan bermanfaat lainnya yang dikehendaki oleh istri (coding, programming, belajar bahasa Arab atau lainnya) sebagai bentuk jasa yang bisa bernilai harta
Meski begitu, idealnya, sebelum menikah, kedua pasangan seyogianya sudah bisa membaca Al-Qur’an dan menguasai ilmu-ilmu dasar agama Islam.
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 9, Ibnu Abidin, Al-Radd al-Muhtar ‘ala Al-Durr al-Mukhtar, Juz 2, Al-Syarh Al-Shaghir, Juz 2, Al-Syairazi, Al-Muhaddzab, Juz 2, Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Juz 3, Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 9.
###
*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar