ikl Tanya Kiyai: Menikahi Dua Perempuan Sekaligus? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Kiyai: Menikahi Dua Perempuan Sekaligus?

Share it:
Tanya Kiyai: Menikahi Dua Perempuan Sekaligus? 

Pertanyaan (Ferdy, bukan nama sebenarnya):

Bagaimana hukumnya seorang laki-laki menikahi dua orang perempuan sekaligus? Terlebih lagi jika kedua perempuan tersebut adalah kakak beradik? Bolehkah?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi): 

Dalam menjawab pertanyaan ini, kami akan mencoba menyampaikan perspektif fikihnya terlebih dahulu, kemudian baru membahas norma/adab serta tujuan dari pernikahan itu sendiri. 

Secara fikih, laki-laki boleh memiliki empat orang istri dengan syarat di antara keempat istri tersebut tidak ada hubungan mahram sebab nasab atau susuan. Akad nikah laki-laki dengan empat istrinya tidak harus dilakukan pada hari dan tempat yang berbeda. Bisa saja akad nikah mereka dilakukan secara beruntun pada satu hari dan di tempat yang sama, dan itu sah.

Allah berfirman:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ 

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim (QS. An-Nisa [4]: 3).

Dalam ayat lain diberikan penjelasan tambahan bahwa sejatinya lelaki yang hendak menikahi perempuan lebih dari satu, maka ia harus menjamin bahwa dirinya dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. 

Allah berfirman:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. An-Nisa [4]: 129).

Menghimpun pernikahan

Sebagian besar ulama tidak mensyaratkan sahnya pernikahan laki-laki dengan dua bahkan empat perempuan harus dilakukan pada waktu atau hari yang berlainan. Adapun jika antara dua perempuan tersebut terdapat hubungan mahram, maka menggabungkan keduanya dalam satu akad (ijab-qabul) hukumnya adalah batal, seperti kakak dan adik atau keponakan dan bibi. 

Misalnya wali berkata kepada seorang calon suami, “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan dua puteri saya, Fulanah A dan Fulanah B, dengan mas kawin sekian.” Lalu calon suami itu menerima dengan berkata, “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah A dan Fulanah B dengan mas kawin sekian.”

Jika akad terhadap dua perempuan yang mahram tersebut dilakukan terpisah (tersendiri), maka hukum akad yang pertama adalah sah, sedangkan akad kedua adalah batal. 

Misalnya wali berkata, “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan puteri saya, Fulanah A, dengan mas kawin sekian.” 

Lalu calon suami menjawab (qabul), “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah A dengan mas kawin sekian.”

Setelah itu wali melakukan akad (ijab) lagi untuk puterinya yang lain, “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan puteri saya, Fulanah B, dengan mas kawin sekian.”

Calon suami menjawab “Saya terima nikah dan kawinnya Fulanah B dengan mas kawin sekian.”

Hukum nikahnya laki-laki tersebut dengan Fulanah A adalah sah, sedangkan dengan Fulanah B adalah tidak sah atau batal, karena Fulanah A dan Fulanah B itu kakak beradik.

Allah berfirman: 

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisa [4]: 23).

Syeikh Zainuddin Al-Malibari (w. 1579 M/987 H) dalam kitab Fath Al-Mu’in menjelaskan:

فَإِنْ نَكَحَ مَحْرَمَيْنِ فِي عَقْدٍ بَطَلَ فِيْهِمَا إِذْ لَا مُرَجِّحَ أَوْ فِي عَقْدَيْنِ بَطَلَ الثَّانِي وَضَابِطُ مَنْ يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا كُلُّ امْرَأَتَيْنِ بَيْنَهُمَا نَسَبٌ أَوْ رَضَاعٌ يَحْرُمُ تَنَاكُحُهُمَا إِنْ فُرِضَتْ إِحْدَاهُمَا ذَكَرًا

Jika ia menikahi dua (perempuan) mahram dalam satu akad, maka batal dalam keduanya, karena tidak ada hal yang menguatkan salah satunya, atau menikahi dalam dua akad, maka akad yang kedua batal. Parameter perempuan yang haram dikumpulkan (dalam satu ikatan nikah) adalah setiap dua perempuan yang di antara keduanya terdapat hubungan nasab atau persusuan di mana mereka berdua haram menikah seandainya salah satunya adalah laki-laki.

Sementara itu, dalam satu hadis diriwayatkan keharaman mengumpulkan keponakan dan bibinya dalam satu ikatan nikah. 

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا، وَلَا عَلَى خَالَتِهَا

Tidak dinikahi seorang perempuan atas bibinya (dari garis ayahnya), juga tidak atas bibinya (dari garis ibunya) (HR. Muslim no. 1408)

Adapun menghimpun dua perempuan dalam satu ikatan nikah di mana di antara kedua perempuan tersebut terdapat hubungan mahram sebab mushaharah (perkawinan), hukumnya boleh. Misalnya, menghimpun antara seorang perempuan dan mantan mertuanya, dan seorang perempuan dan mantan anak tirinya.  

Syeikh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi (w. 1885 M/1302 H) berkata:

وَخَرَجَ بِهِمَا الْمُصَاهَرَةُ فَلَا تَقْتَضِيْ حُرْمَةَ الْجَمْعِ، فَيَجُوْزُ الْجَمْعُ بَيْنَ امْرَأَةٍ وَأُمِّ زَوْجِهَا أَوْ بِنْتِ زَوْجِهَا، وَإِنْ حَرُمَ تَنَاكُحُهُمَا لَوْ فُرِضَتْ إِحْدَاهُمَا ذَكَرًا وَالْأُخْرَى أُنْثَى

Dikecualikan dari mahram sebab nasab dan sebab susuan, yaitu mahram sebab mushaharah (perkawinan), maka boleh menghimpun antara seorang perempuan dan (mantan) ibu suaminya atau (mantan) anak suaminya, meskipun mereka berdua haram menikah seandainya salah satunya laki-laki dan yang lainnya perempuan.

Begitu pula pernikahan seorang laki-laki dengan dua perempuan kakak beradik tiri adalah sah, sebab antara kedua perempuan tersebut tidak ada hubungan mahram, karena kedua orang tua mereka berbeda. Akan tetapi, makruh menyerahkan kedua perempuan (istri) kepada suaminya di malam yang sama, karena suami tidak mungkin menginap bersama keduanya dalam satu malam. 

Syeikh Yahya Al-‘Imrani (w. 1163 M/558 H) berkata:

وَيُكْرَهُ أَنْ تَزِفَّ إِلَيْهِ امْرَأَتَانِ فِيْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يُوَفِّيَهُمَا حَقَّ الْعَقْدِ مَعًا، وَإِذَا أَقَامَ عِنْدَ إِحْدَاهُمَا اِسْتَوْحَشَتِ الْأُخْرَى

Makruh bagi dua perempuan (istri) menyerahkan dirinya kepada suaminya dalam satu malam, karena suami tidak mungkin memenuhi hak akad (yaitu menginap bersama istrinya) secara bersamaan, dan jika suami bermalam pada salah satu dari kedua istrinya, maka istrinya yang lain menjadi sedih.

Perspektif norma dan tujuan pernikahan 

Sahabat KESAN yang budiman, secara fikih menikahi dua, tiga, atau empat orang perempuan dalam satu waktu memang dibolehkan. Namun, kebolehan tersebut juga (terkadang) harus menyesuaikan dengan norma, adat, dan kebiasaan (‘urf) yang berlaku di masyarakat. 

Di Indonesia, menikahi beberapa perempuan dalam satu waktu dan tempat adalah hal yang tidak lazim. Karena itu, meski mengumpulkan pernikahan dalam satu waktu dan tempat sah menurut hukum Islam, tampaknya hal-hal yang terkait kebiasaan, adat, dan kelaziman juga mesti menjadi pertimbangan.

Alhasil, pernikahan sejatinya adalah upaya menghadirkan hubungan suami istri yang harmonis, saling percaya, dan saling pengertian. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ridha Allah. 

Lebih jauh, dalam ikatan pernikahan ada hak-hak istri dan suami yang saling berkelindan satu dengan lainnya yang harus menjadi perhatian bersama, ketimbang hanya ingin mendahulukan kesenangan pribadi. Suami berhak ridha dan bahagia dalam pernikahan, begitu pula dengan istri. 

Rasulullah ﷺ bersabda: 

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya (HR. Tirmidzi no. 1162; hadis sahih menurut Imam Suyuthi).

Kita perlu jujur pada diri kita sendiri bahwa ketika kita menikahi dua perempuan sekaligus dalam satu hari, sebetulnya ridha dan kebahagiaan siapa yang kita cari. Apakah itu untuk Allah? Apakah itu untuk kepuasan diri sendiri? Apakah hal demikian akan membuat kita dan istri kita menjadi pribadi muslim dan muslimah yang lebih baik? Apakah dalam pernikahan yang demikian akan tercipta keluarga yang sakinah, mawadah, warrahmah? Adakah yang akan diuntungkan dan disakiti di hari ini? Bagaimana dengan potensi kebaikan dan keburukannya saat ini dan di masa depan? 

Semua itu tentunya perlu dipertimbangkan dengan baik dan bijak jika kita serius tidak hanya dalam akad nikah saja, tetapi dalam mempertahankan pernikahan kita. Dan kita perlu memastikan bahwa kita pun mengawali pernikahan secara baik-baik dan memperlakukan wanita dengan baik. 

Rasulullah ﷺ bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita (HR Muslim no. 1468).

Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.

Referensi: Fath Al-Mu’in, Zainuddin Al-Malibari; I’anah Ath-Thalibin, Abu Bakr Syatha; Al-Bayan, Yahya Al-‘Imrani

###

*

Share it:

Islam

Keluarga

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching