Pertanyaan (Heni, Bukan nama sebenarnya)
Banyak sekali saya jumpai produk kosmetik yang mengandung alkohol, bahkan hampir semuanya termasuk minyak wangi dan obat kumur. Bagaimana sebenarnya hukum menggunakan kosmetik yang mengandung alkohol?
Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah)
Memang telah banyak beredar produk industri beralkohol di sekeliling kita baik berupa kosmetik seperti peralatan make-up, parfum hingga makanan, minuman, serta obat-obatan. Adanya campuran alkohol ini tentu saja membuat gundah umat muslim dalam pemakaiannya. Asumsinya bahwa alkohol sama dengan khamr yang haram dan dihukumi najis oleh sebagian besar fuqaha’ (para ahli fikih).
Benarkah produk beralkohol sudah tentu haram dan najis sebagaimana keharaman khamr?
Salah seorang ahli kimia, Hans Lohninger, menjelaskan bahwa kata “alkohol” berasal dari bahasa Arab kohl (اَلْكُحْلُ); bubuk yang digunakan sebagai eyeliner (celak). Kata alkohol pada awalnya digunakan untuk bubuk yang sangat halus yang diproduksi melalui sublimasi mineral alami stibnit untuk membentuk antimon trisulfida Sb2S3.
Senyawa ini dianggap sebagai spirit dari mineral tersebut. Digunakan sebagai antiseptik, eyeliner, dan kosmetik. Makna alkohol diperluas ke zat-zat yang disuling secara umum, dan kemudian menyempit menjadi etanol, ketika spirit-nya digunakan sebagai sinonim untuk minuman keras.
Alkohol absolut atau yang biasa dikenal dengan nama etanol dapat diproduksi dari reaksi hidrasi etilen dan fermentasi dari bahan mentah mobo/disakarida (gula tebu, tetes tebu), bahan berpati (jagung, padi atau hasil pertanian lainnya), dan bahan selulosa (kayu, limbah pertanian).
Sementara itu, seorang dokter asal Indonesia, dr. Hanna Himmatul Ulya, mengatakan, bahwa alkohol yang digunakan untuk membersihkan peralatan medis (disinfektan) adalah alkohol sintetis dengan kadar 70% yang bila terminum bukan hanya memabukkan tapi bisa mematikan. Lain dengan khamr yang dihasilkan dari fermentasi buah, memang ada etanolnya juga namun kadarnya tidak setinggi disinfektan.
Adapun alkohol yang dibuat untuk parfum ataupun kosmetik ini nama gugusnya juga etanol tapi dengan kadar dan maksud pembuatan yang berbeda. Beda tujuan, beda pula proses pembuatannya.
Sampai disini setidaknya sudah dapat kita pahami dua hal. Pertama, alkohol tak mesti diperoleh melalui fermentasi buah sebagaimana khamr. Kedua, alkohol dapat diatur kadarnya sesuai kebutuhan mulai dari kadar yang tidak membahayakan hingga yang mematikan.
Selanjutnya kita beralih kepada istilah khamr, Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Semua yang memabukkan adalah khamr, dan semua yang memabukkan adalah haram. (HR. Muslim no. 2003)
Imam Nawawi menjelaskan bahwa ulama mazhab Syafii menyepakati istilah khamr dalam hadits di atas merupakan sebuah nama yang disematkan untuk segala jenis minuman perasan yang memabukkan, namun bagi sebagian lain istilah khamr dikhususkan untuk perasan anggur saja.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
Setiap minuman yang memabukkan adalah haram (HR. Bukhari no. 242)
Salah seorang ulama ahli hadis, Syeikh Ibnu Bathal menulis dalam syarahnya Shahih Al-Bukhari li Ibni Bathal, jika suatu minuman dapat memabukkan maka wajib untuk menjauhinya karena ia najis, minuman tersebut tak boleh digunakan dalam kondisi apapun dan tidak halal untuk diminum.
Dari kedua hadis shahih di atas serta banyak ayat dan hadits lain yang berkenaan dengan khamr, fokus utama pembahasannya adalah tentang minuman, karena memang segala konsekuensi hukum ini terlahir dari persoalan minuman. Sebelum kemudian meluas kepada segala hal yang di-qiyas-kan kepada khamr dari segi iskar dan najisnya meski ia bukan berupa minuman.
Ringkasnya, khamr adalah minuman yang dihukumi haram sebab memabukkan dan zatnya dihukumi najis. Beda dengan alkohol, ia bukan dikhususkan sebagai minuman dan tak semuanya dihukumi najis.
Lalu, alkohol yang digunakan sebagai campuran kosmetik ini termasuk yang haram dan najis ataukah sebaliknya?
Seorang ulama fiqih kontemporer asal Suriah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa penggunakan alkohol sebagai obat, kosmetik, cologne, dan disinfektan bukanlah sesuatu yang diharamkan secara syara’ dan tidaklah najis.
Sejalan dengan fatwa MUI no.11 tahun 2009, penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr [fermentasi yang tak ditujukan untuk membuat khamr]) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan hukumnya mubah apabila secara medis tidak membahayakan dan haram apabila secara medis membahayakan.
Sahabat yang budiman, dari sini bisa kita pahami bahwa alkohol bukan hanya dihasilkan dari proses fermentasi sebagaimana khamr dibuat, tapi bisa juga dari senyawa petrokimia. Proses pembuatannya disesuaikan berdasarkan tujuan pengolahan. Bila untuk kebutuhan industri, maka pembuatannya menggunakan senyawa petrokimia atau fermentasi non khamr. Namun bila untuk membuat minuman keras, maka pembuatannya menggunakan fermentasi bahan baku nabati atau fermentasi khamr.
Satu hal yang perlu dipahami adalah jika semua alkohol dihukumi sama dengan khamr maka pastilah selain haram ia juga najis, sementara kita tahu bahwa semua peralatan rumah sakit disterilkan menggunakan alkohol. Oleh karenanya tidak mungkin kedua hal tersebut disamakan.
Sejatinya, alkohol yang digunakan sebagai bahan untuk membuat kosmetik ataupun desinfektan berbeda dengan khamr. Oleh karenanya, hukum menggunakan alkohol untuk kepentingan pembuatan kosmetik dan alat sterilisasi rumah sakit hukumnya mubah. Sehingga menggunakan kosmetik yang memiliki kadar alkohol di dalamnya diperbolehkan.
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Lohninger, H. (21 December 2004). “Ethymology of the Word “Alcohol””. VIAS Encyclopedia; Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim; 13/169; Syarhu Shahih Al-Bukhari li Ibni Bathal; 1/361-362; Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuhu; 7/5.264; E-journal Undip “Evaluasi dan Modifikasi Proses Pemisahan dan Pemurnian Etanol Hasil Fermentasi”
###
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar