ikl Tanya Nyai: Menagih Janji Menikah? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Nyai: Menagih Janji Menikah?

Share it:

Tanya Nyai: Menagih Janji Menikah?



Pertanyaan (Shasha, bukan nama sebenarnya)
Bolehkah seorang wanita menagih janji kepada lelaki yang berkata hendak menikahi dirinya? 
Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah)
Sebelum membahas soal kebolehan menagih janji, mari kita bahas terlebih dahulu definisi janji. Dalam syariat Islam, janji merupakan makna umum daripada sumpah (الحلف) dan nazar (النذر).
Sumpah merupakan berjanji atas nama Allah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, baik sesuatu yang bersifat wajib, mandub (dianjurkan), mubah (boleh) maupun yang haram. Masing-masing memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Dalam kasus ini, menikah asal hukumnya adalah mubah (dalam mazhab Syafii) meski kemudian dapat berubah berdasarkan kondisi lelaki. 
Menurut ulama mazhab Hanbali dan Syafii, sumpah terhadap perkara mubah ini boleh dilanggar, tetapi lebih utama untuk  menepatinya demi menjaga kemuliaan nama Allah yang ia ucap dalam sumpahnya. 
Sebagian ulama mazhab Hanafi sejalan dengan pendapat di atas, sementara sebagian lain mewajibkan sumpah semacam ini untuk ditepati. Lain halnya bila ia bersumpah melakukan sesuatu yang wajib, mandub, atau haram.
Sementara nazar adalah mewajibkan sesuatu yang pada hukum asalnya tak diwajibkan oleh syari’ (Allah dan Rasul-Nya) kepada seorang mukallaf. Misalnya, menikah tidaklah wajib; tapi bila seseorang bernazar hendak menikah, maka menikah yang tadinya tidak wajib kini menjadi wajib oleh sebab nazarnya tersebut. 
Konsekuensi hukumnya adalah bila seseorang bernazar melakukan suatu ketaatan pada Allah maka ia wajib memenuhinya, begitu pula bila ia bernazar melakukan sesuatu yang mubah. Namun, bila ia bernazar melakukan kemaksiatan pada Allah maka ia haram memenuhinya. 
Nazar identik dengan qurbah (perbuatan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan sumpah identik dengan pelafalannya yang mengatasnamakan Allah. Kedua macam janji ini memiliki ikatan yang kuat dan konsekuensi kaffarat sebagai sanksi pelanggarannya. Selain kedua macam ini, definisi janji akan kembali kepada arti kata asalnya berupa kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. 
Lantas apakah janji selain berupa nazar dan sumpah ini wajib ditepati??
Menurut ulama fikih dari kalangan Hanafi, Ibnu Najim, menyatakan bahwa janji tidaklah wajib ditepati kecuali bila terikat oleh syarat seperti dalam contoh akad bai’ul wafa, yakni akad jual beli ketika salah satu pihak menjual barangnya kepada pembeli dengan syarat barang tersebut bisa ia beli kembali dengan harga yang sama saat ia menjualnya.
Demikian pula menurut ulama fikih dari kalangan ulama mazhab Maliki, Imam Al-Qarafiy, beliau menyatakan bahwa janji barulah wajib dipenuhi bila ia berkaitan dengan harta benda. Menurutnya, hadis yang berbunyi “janjinya seorang mukmin adalah hutang” tidak dimaksudkan sebagaimana hutang harta benda pada umumnya. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ memberi batasan lagi mengenai hal ini. 
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ، فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيَأْتِهَا، وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ
Barang siapa yang melakukan sumpah, kemudian ia mengetahui ada hal yang lebih baik darinya (yang ia sumpahkan) maka hendaklah ia melakukannya (yang lebih baik itu) dan membayar kaffarat dari sumpahnya (yang ia langgar)  (HR. Muslim no. 1650). 
Sejalan dengan pendapat di atas, salah satu ulama fikih kontemporer Imam ‘Alauddin Al-Mardawi menjelaskan bahwa menepati janji hukumnya tidak wajib menurut pendapat yang sahih dalam mazhab Hanbali yang mengambil dasar dari Al-Qur’an
Allah berfirman: 
وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ - ٢٣ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۖوَاذْكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيْتَ وَقُلْ عَسٰٓى اَنْ يَّهْدِيَنِ رَبِّيْ لِاَقْرَبَ مِنْ هٰذَا رَشَدًا - ٢٤ 
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini (QS. Al-Kahfi [18]: 23-24). 
Perihal berpaling dari janji menikahi, rasanya tak sedikit lelaki yang mengumbar janji tersebut kepada pujaan hatinya. Jangankan berpaling dari janji menikahi, bahkan ada juga yang berpaling dari khithbah-nya (lamaran) dan tidak jadi menikah. Tapi ternyata itu bukan masalah. Justru masalahnya adalah tidak banyak perempuan yang menyadari hal ini sehingga mereka mudah terbuai janji-janji semu.
Salah seorang ulama fikih kontemporer, Syeikh Wahbah Az-Zuhailiy, menjelaskan bahwa khithbah bukanlah pernikahan. Ia hanyalah suatu janji untuk melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, sebagian besar fuqaha’ (para ahli fikih) tak mempermasalahkan bila si lelaki ataupun si wanita berpaling dari lamarannya, sebab selama belum terjadi akad nikah maka tak ada satu konsekuensi hukum apa pun. 
Sahabat yang budiman, menagih janji pada lelaki yang sudah melamar hukumnya boleh-boleh saja, sebagaimana dibolehkan juga bagi si lelaki untuk tidak memenuhi janjinya, karena hal tersebut tidak mengikatnya dengan kuat sebagaimana nazar maupun sumpah. Hanya saja perbuatan tadi memiliki imbas sosial, seperti tata krama, nama baik, kehormatan, dsb. 
Oleh karena itu, pertama-pertama, sebagai wanita, ada baiknya ia tidak mudah terbujuk rayuan lelaki yang gemar mengumbar janji semacam itu. Sebaliknya, kepada lelaki agar tidak mengumbar janji yang mana ia tidak serius menindaklanjutinya dengan perbuatan. Selain itu, saat berjanji ucapkanlah insyaAllah sebagai tanda keseriusanbukan sekadar terbawa momen. 
Wallahu a’lam bish shawab.
Referensi: Tafsir Ar-Raziy; 9/486; Al-Fiqhu ‘Ala Al-Madzahibi Al-‘Arba’ati; 2/56-57; Al-Fiqhu ‘Ala Al-Madzahibi Al-‘Arba’ati; 2/127-133; Al-Asybah wa An-Nadza’ir; 247; Al-Furuq; 3/104; Al-Inshaf; 11/152; Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuhu; 9/6.509
###


*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Share it:

Hikmah

Hukum

Islam

Tanya Jawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching