Tanya Nyai: Wanita Iqamah?
Pertanyaan (Riesty):
Apa hukumnya jika suami istri salat berjamaah lalu istrinya yang iqamah?
Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah SH):
Berbicara tentang iqamah, maka tidak bisa dilepaskan dengan pembicaraan soal azan.
Imam Al-Baihaqi berpendapat bahwa pada dasarnya azan dan iqamah disyariatkan untuk kaum lelaki saja.
Ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad ﷺ. Nabi ﷺ bersabda:
يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
Wahai Bilal, berdirilah engkau, lalu serukanlah salat (HR. Muslim no: 377).
Perintah Nabi ﷺ kepada Bilal tersebut kemudian dijadikan alasan bahwa wanita tak disyariatkan untuk azan dan juga iqamah (As-Sunan Al-Kubro lil Baihaqy; 1/601).
Lantas bagaimana hukumnya bila wanita tetap melakukannya?
Sulaiman Al-Jamal menerangkan isi kitab Syarah Minhaju Ath-Thullab karyaImam Zakariya Al-Anshariy bahwa ada tiga pendapat terkait hal ini.
Pertama, perempuan hanya disunnahkan melakukan iqamah saja, bukan azan. Karena iqamah hanya berfungsi mengingatkan jamaah untuk memulai salat, maka tak perlu menyaringkan suara sebagaimana azan.
Kedua, baik iqamah maupun azan keduanya disunnahkan bagi jamaah khusus wanita dengan syarat tak menyaringkan suaranya melebihi yang bisa didengar oleh kawannya.
Ketiga, keduanya tidak disunnahkan (Hasyiyatu Al-Jamal, 1/299).
Ibnu Hajar Alhaytami, ulama mazhab Syafii, mengatakan bahwa azan dan iqamahnya wanita tidak sah walaupun kepada mahramnya. Pendapat ini dikomentari oleh Imam Assyarwani yang mengatakan bahwa keharaman tersebut berlaku saat si wanita menyaringkan suaranya dengan maksud menyerupai lelaki atau azan secara syar’i.
Sementara itu, Ibnul Qasim Al-‘Ubbadiy menambahkan bahwa bila si wanita tak meninggikan suaranya, atau azan dan iqamah untuk kepentingan lainnya (bukan untuk tujuan syar’i, misalnya karena ada bencana dan sebagainya) maka hal tersebut tidak haram (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj; 1/472).
Adapun Imam Malik mengatakan bahwa jika wanita beriqamah maka hukumnya hasan (baik/boleh) (Al-Mudawwanah; 1/158). Keumuman pendapat ini dijelaskan oleh Ahmad bin Ghanim bahwa kebolehan iqamah bagi wanita adalah pada saat wanita salat sendiri atau bersama jamaah wanita lainnya (Al-Awakih Ad-Diwani; 1/172).
Di sisi lain, Imam Assarkhosiy, ulama mazhab Hanafi, mengatakan bahwa tak ada tuntutan azan maupun iqamah bagi wanita, jika para wanita salat berjamaah maka salatnya dilakukan tanpa azan dan iqamah. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Rabithah (salah seorang jamaah wanita) yang hendak salat berjamaah bersama para wanita, dengan Sayyidah ‘Aisyah menjadi imam dan berdiri di antara mereka tanpa didahului azan dan iqamah (Al-Mabsuth; 1/133).
Sedangkan menurut Imam Nawawi, ulama Syafiiyah, dalam kitab Majmu’-nya, berpendapat bahwa azan seorang wanita tidak sah ketika ada jamaah laki-laki. Sedangkan apabila ditujukan untuk jamaah wanita (seperti yang ada di lingkungan pesantren khusus putri), maka ada tiga pendapat terkait hal ini.
Pertama, disunnahkan iqamah saja, azan tidak disunnahkan.
Kedua, tidak ada yang sunnah, baik azan ataupun iqamah.
Ketiga, keduanya disunnahkan ketika jamaahnya hanya wanita.
Dari ketiga pendapat ini, maka pendapat pertama adalah pendapat jumhur dan yang masyhur dalam ulama Syafii. Adapun ulama Malikiyah dan Hanabilah juga sependapat dengan hal tersebut (Al-Um, 1/103; Al-Majmu’, 3/100).
Pendapat jumhur ini didasari pada pandangan bahwa meskipun suara perempuan bukanlah aurat, namun para ulama melihat bahwa ada potensi terjadi fitnah jika azan dikumandangkan oleh wanita dengan nada tinggi, maka hal itu kemudian tidak diperkenankan meskipun tidak dilarang.
Oleh karena itu, ketika seorang wanita azan dengan nada tidak tinggi, maka hukumnya tidak makruh, asalkan tidak diperuntukkan bagi jamaah laki-laki. Adapun iqamah bagi wanita hukumnya sunnah, karena pada umumnya iqamah dilakukan dengan nada pelan atau sedang (Al-Mabsuth li Al-Sarakhsy, 1, 133).
Kesimpulan
Sahabat yang budiman, berdasarkan pandangan-pandangan ulama di atas, maka iqamah bagi wanita hukumnya boleh (mubah) dengan syarat iqamah tersebut tidak akan menimbulkan fitnah, dikumandangkan dengan suara pelan atau sedang, dilakukan pada saat salat sendirian, dan dilakukan khusus di jamaah salat wanita.
Dengan demikian, melihat alasan tersebut, maka seorang istri boleh melakukan iqamah saat berjamaah bersama sang suami sebab syarat atau kekhawatiran (fitnah) di atas telah hilang.
Wallahu a’lam bish ash-Shawabi.
Referensi: Al-Mabsuth li Al-Sarakhsy, Al-Um, Al-Majmu’, Al-Mabsuth, Al-Awakih Ad-Diwani, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Hasyiyatu Al-Jamal, Syarah Minhaju Ath-Thullab, dan As-Sunan Al-Kubro lil Baihaqy.
*Jika
di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar