Tanya Nyai: Taat Suami Atau Orang Tua?
Pertanyaan (Nanda, bukan nama sebenarnya)
Benarkah jika seorang wanita yang sudah menikah harus lebih dahulu menaati suaminya dibanding menaati perkataan orang tuanya?
Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah)
Setiap anak memang diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, siapapun itu, baik anak laki-laki maupun perempuan. Keduanya memiliki kewajiban yang sama dalam mengabdikan dirinya kepada orang tuanya. Namun, bagi wanita yang telah bersuami, derajat orang tua dalam hirarki pengabdian dirinya telah tergeser oleh keberadaan sang suami.
Diceritakan dalam suatu riwayat bahwa Sayidah ‘Aisyah pernah bertanya pada Rasulullah ﷺ tentang hal tersebut:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: (زَوْجُهَا) قُلْتُ: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: (أُمُّهُ)
Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ , “Siapakah orang yang paling berhak atas seorang wanita? Rasulullah ﷺ menjawab, “Suaminya”. Aku berkata, lalu siapakah orang yang paling berhak atas seorang lelaki? Rasulullah ﷺ menjawab, “Ibundanya.” (HR. An-Nasa’i no. 3231)
Perlu kita pahami bahwa menaati suami adalah kewajiban seorang istri. Tentunya ia tidak boleh melanggar perintah suaminya demi melakukan sesuatu yang tak wajib. Kasus yang paling sering dijadikan contoh misalnya, saat istri ingin menjenguk orang tuanya yang sedang sakit sementara suami tidak mengizinkan, maka saat inilah istri dituntut untuk mempertimbangkan pilihannya.
Dalam contoh kasus di atas, beberapa ulama berbeda pendapat. Para ulamaHanbali melarang istri keluar rumah kecuali dengan izin suaminya, sementara ulama Hanafi membolehkan istri menjenguk orang tuanya dengan atau tanpa izin suaminya.
Sementara kalangan ulama Syafiiyah mengatakan bahwa suami memang berhak melarang istrinya, tetapi sebaiknya ia tidak melarang istrinya untuk menjenguk orang tuanya. Kebolehan melarang yang menjadi hak suami di sini pun tidak boleh bertentangan terhadap hak-hak istri, misalnya, ia melarang istri menjenguk sebab ia tak bisa mengantarnya sementara ia khawatir akan keselamatan istrinya saat melakukan perjalanan sendirian.
Di luar perbedaan pendapat para ulama ini, para istri hendaklah memahami bahwa mematuhi larangan suaminya merupakan kewajiban, sementara menjenguk orang sakit tidaklah wajib. Namun pemahaman ini tidak boleh terhenti sampai di sini.
Para suami juga perlu memahami pola mu’asyarah (perlakuan) yang baik kepada istrinya. Makruh hukumnya semena-mena mengatur istri tanpa mempertimbangkan kemashlahatan istri dan rumah tangganya. Para suami wajib memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan melindungi mereka.
Allah berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya (QS. An-Nisa [3]: 19).
Memperlakukan istri dengan cara yang patut merupakan ruh sebuah pernikahan. Dalam kitab Al-Muhazzab dijelaskan bahwa larangan atau perintah suami yang tak memandang kebutuhan istri akan berpotensi membuat istri membangkang sehingga terjadi perpecahan dalam rumah tangga.
Selain itu, suami juga wajib memberikan hak-hak istrinya bila ia mampu. Sebab menunda-nunda hak istri padahal suami tidak memiliki uzur untuk menundanya termasuk sebuah kezaliman.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda-nundanya orang yang mampu merupakan sebuah kezaliman (HR. Bukhari no. 2400)
Dan juga Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik (akhlaknya) terhadap istrinya (HR. Tirmidzi no. 1162).
Sahabat yang budiman, relasi dalam rumah tangga haruslah disertai dengan kesalingan. Dalam perspektif mubaadalah (kesalingan), tidak ada satu peran dominan dalam menjalin rumah tangga dalam islam. Suami memiliki peran, hak, dan kewajibannya sebagaimana istri juga memiliki hal tersebut. Perbedaan peran keduanya bukanlah untuk membedakan tingkat kemuliaan salah satu pihak di atas yang lainnya.
Antara suami dan istri seyogianya menjalankan tugas dan peran masing-masing disertai dengan cinta, komunikasi yang baik serta kesadaran akan kebutuhan pasangannya. Dengan demikian, terciptalah kesalingan yang menjadi spirittercapainya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan penuh rahmat. Dengan adanya komunikasi yang sehat serta pengertian antara satu sama lain, seorang istri tidak lagi terjebak pada dilema untuk memilih suami atau orang tuanya sebab segala hal telah dibicarakan dengan baik bersama suami.
Wallahu a’lam bish shawabi.
Referensi: As-Sunanu Al-Kubro li An-Nasa’i, 8/254; Al-Mughni li Ibni Qudamah, 7/295; Fathu Al-Qadir, 9/469; Al-Majmu’ Syarhi Al-Muhadzdzabi 16/413-414; Shahihu Al-Bukhari, 3/94; Al-Muhadzdzab fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi’i li Asy-Syairaziy, 2/481.
*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar