RAHASIA GUS DUR DAN HABIB LUTFI BIN YAHYA.
Saya selaku cucunya Habib Hasyim sendiri baru mengetahui belum lama. Dalam hati saya sendiri bertanya mengapa saya baru mengerti? Di tempatnya guru saya, Kiai Abdul Fattah, setiap Selasa pagi diadakan pengajian kitab Ihya Ulumiddin dengan pengajar al-Alim al-Allamah Kiai Irfan Kertijayan Pekalongan. Kiai Irfan adalah murid dari Kiai Amir Simbang.
Setiap kali Kiai Irfan melihat saya selalu memandang dengan serius, tapi nampak ragu untuk bertanya. Mungkin takut salah (sangka). Waktu itu yang menjadi saksi sejarah adalah Kiai Irfan, Kiai Abdul Fattah, Kiai Abdul Adzim dan beberapa kiai yang lain. Sayangnya para saksi sejarah ini sudah tiada semua. Beliau (Kiai Irfan) bertanya kepada saya, “Habib Luthfi ini kalau saya lihat pakaiannya, cara jalannya, seperti guru saya al-Habib Hasyim bin Umar bin Yahya. Beliau termasuk menjadi ulama rujukan di Indonesia. Bahkan setiap bulannya di kediaman beliau sering berkumpul para ulama dari luar Negara.”
Saya tidak berani menjawab. Perasaan saya malu. Karena saya mempunyai kakek yang begitu hebatnya tapi saya sendiri belum mampu untuk bisa meniru walau setetes. Karena saya diam, Kiai Abdul Adzim dan Kiai Abdul Fattah yang menjawabnya, “Dia cucunya Habib Hasyim bin Umar.”
Langsung saja Kiai Irfan menangis dan merangkul saya karena saking gembiranya. Lalu beliau berkata, “Mumpung saya masih hidup. Umur saya sekarang sudah 83. Mumpung masih ada umur, saya takut sejarah ini hilang. Ketahuilah, ketika Mbah Hasyim Asy’ari sudah keliling muter untuk mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) beliau terlebih dahulu beristikharakh di Makkah al-Mukarramah. Singkat ceita, dari istikharahnya tersebut dihasilkan sebuah keputusan oleh para ulama yang ada di sana seperti Kiai Ahmad Nahrawi, guru tarekat Syadziliyah terkenal, Kiai Mahfudz at-Turmusi, dan beberapa tokoh ulama lainnya, bahwa, “Di Jawa, keputusannya hanya ada di dua orang. Yang pertama al-Habib Hasyim bin Umar bin Yahya Pekalongan, dan yang kedua Mbah Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Bilamana dua orang ini setuju, maka dirikanlah Nahdlatul Ulama. Tapi apabila dua orang ini tidak berkenan, jangan dibantah.”
Akhirnya Mbah Hasyim Asy’ari kembali (ke tanah air). Sesampainya di rumah beliau langsung menuju ke Kudus untuk meminta Kiai Asnawi dan Kiai Yasin mendampinginya. Terus (dilanjut) ke Pekalongan menuju rumahnya Kiai Muhammad Amir, dan di situ sudah ada Kiai Irfan yang memang sudah dipersiapkan, karena mendengar Kiai Hasyim akan berkunjung.
Lalu Kiai Hasyim didampingi Kiai Asnawi, Kiai Yasin, Kiai Amir dan Kiai Irfan datang ke rumah Habib Hasyim. Sesampai di sana, Habib Hasyim berkata, “Hasyim, saya ridhai kalau kamu mendirikan suatu wadah untuk Ahlussunnah wal Jama’ah.”
(Mendengar jawaban tersebut) Mbah Hasyim Asy’ari sangat senang hati. Setelah menginap (beberapa hari) di Pekalongan, beliau meminta kepada Habib Hasyim untuk mengajarinya (menambah) ilmu hadits. Maka setiap Kamis Wage, beliau mesti datang ke Pekalongan belajar ilmu hadits kepada Habib Hasyim.
Dari Pekalongan Mbah Hasyim Asy’ari langsung menuju ke Mbah Kholil Bangkalan. Begitu sampai di sana, Mbah Kholil langsung dawuh, “Sudah, pokoknya apa kata Habib Hasyim itu benar. Saya cocok. Dirikanlah, jangan lama-lama lagi.” Sehingga berdirilah Nahdaltul Ulama.
Saat sebelum keberangkatan ke Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari dipesani Habib Hasyim, “Tapi tolong, nama saya jangan ditulis.” Akhirnya Mbah Kholil pun sama (tidak mau ditulis namanya). Akhirnya Kiai Hasyim bertanya, “Kalau tidak mau ditulis semua, lalu bagaimana (sejarah nantinya)?”
“Ya sudah ndak apa-apa saya ditulis, tapi jangan banyak-banyak”, jawab Mbah Kholil.
Di kesempatan lain saat Habib Luthfi duduk bersama Gus Dur, Faizin dimintai untuk menjadi saksi agar tidak dianggap mengada-ada. Habib Luthfi lalu menceritakan kisah di atas kepada Gus Dur. Tapi ternyata kemudian Gus Dur menerangkan jauh lebih luas lagi tentang peranan Habib Hasyim dengan Mbah Hasyim ketika awal berdirinya Nahdlatul Ulama. Maka jangan heran kalau keluarga Mbah Hasyim Asy’ari, khususnya Gus Dur, dengan kita dekat. Itu meneruskan sebagaimana keakraban para sesepuh, para ulama kita jaman dulu.
Menceritakan itu memang mudah, tapi intinya cuma satu, “Mampukah kita meneruskan thariqah (jalan perjuangan)nya para beliau atau tidak?” Pungkas Habib Luthfi bin Yahya.
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar