Pertanyaan (Muhammad Tholeali):
Apakah hukum nifas perempuan yang melahirkan secara Caesar sama dengan nifasnya perempuan yang melahirkan secara normal?
Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah, S.H.):
Istilah sectio caesarea berasal dari bahasa latin caedere yang berarti memotong atau menyayat. Dalam ilmu obstetri, istilah tersebut mengacu pada tindakan pembedahan yang bertujuan melahirkan bayi dengan membuka dinding perut dan rahim ibu.
Persalinan dengan operasi ini ditujukan untuk indikasi medis tertentu, yang terbagi atas indikasi untuk ibu dan indikasi untuk bayi. Operasi bedah Caesar harus dipahami sebagai alternatif persalinan ketika dilakukan persalinan secara normal tidak bisa lagi.
Proses bersalin memang berkonsekuensi membuat seorang ibu mengalami post partum (masa nifas), baik melahirkan secara normal maupun operasi bedah Caesar. Terbukti dengan pemberian antibiotika profilaksis yang disarankan diberikan kepada pasien pasca bedah Caesar, karena rentan terhadap bakteri yang timbul dari luar maupun dalam pada masa puerperium (masa nifas).
Imam Al-Juwaini, seorang ulama muta’akhirin dari kalangan Syafiiyah, menjelaskan bahwa nifas dalam terminologi fikih adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Darah ini berada di rahim yang ada janin di dalamnya, kemudian darah ini keluar ketika janin terpisah dari rahim ibunya. Darah nifas dihukumi sama dengan hukum darah haid (dalam konsekuensinya) karena sesungguhnya ia adalah darah haid yang terkumpul kemudian luruh dan mengalir.
Salah seorang ulama fikih dari mazhab Hanafi, Ismail Ath-Thahthawi, menambahkan bahwa kalimat “darah yang keluar” dalam definisi nifas maksudnya adalah darah yang keluar dari farji (alat kelamin perempuan). Oleh karena itu, andaikata seorang ibu melahirkan dari pusarnya lalu mengalir darah dari pusarnya maka ibu tersebut tidak dihukumi sebagai wanita yang nifas namun ia dianggap sebagai shahibatul jarah (mengalami luka) saja selama tidak ada darah yang mengalir dari farji-nya.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya darah yang keluar dari kelamin perempuan setelah melahirkan walau bukan melalui proses persalinan normal adalah hal yang wajar dialami, baik dari perspektif medis maupun fikih. Masa pendarahan tersebut tetap dianggap masa puerperium (masa nifas) oleh medis, dan darah tersebut tetap dihukumi darah nifas oleh fikih.
Sahabat yang budiman, dari penjelasan di atas telah kita temukan titik persamaan antara darah nifas akibat melahirkan melalui proses persalinan normal dan akibat operasi bedah caesar. Selama darah tersebut disebabkan oleh proses melahirkan dan keluar melalui farji (alat kelamin perempuan), maka darah tersebut tetaplah dihukumi darah nifas. Oleh karena itu, ibu melahirkan yang mengalami masa nifas akibat operasi bedah Caesar tidak berbeda hukum nifasnya dengan ibu yang mengalami nifas karena proses persalinan normal.
Wallahu a’lam bi ash-shawabi
Referensi: Jurnal: Isti Mulyawati, Mahalul Azam, Dina Nur Anggraini Ningrum; Faktor Tindakan Persalinan Operasi Sectio Caesarea; Hasyiyah Ath-Thahthawiy ‘ala Maraqiy Al-Falah Syarhi Nuril Idhah; 140; Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Mazhab; 1/442; Jurnal: Didik Setiawan, Haefa Akhmad Baraba; Pola Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada Pasien Bedah Caesar Di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga Tahun 2007 [D Setiawan, H AB – Prosiding Kongres Ilmiah ISFI XVI, 2008 – digilib.ump.ac.id].
###
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar