ikl Tanya Nyai: Menyimpan Tali Pusar? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Nyai: Menyimpan Tali Pusar?

Share it:

Pertanyaan (Indah, bukan nama sebenarnya): 

Saya pernah membaca artikel, menyimpan tali pusar anak ternyata banyak mudhorotnya (jeleknya) karena tali pusar merupakan tulang rawan yang disukai oleh jin. Sehingga anak jadi susah diatur dan beribadah. Benarkah demikian? 

Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah, S.H.)

Menyimpan tali pusar umum dilakukan oleh para orang tua dengan berbagai alasan, misalnya, untuk pengobatan atau menjaga tradisi leluhur Jawa. Pengobatan menggunakan tali pusar dengan cara meminum air rendamannya belum terbukti secara medis, meski tali pusar tersebut dihukumi suci dalam fikih. 

Begitu pula dengan pengambilan stem cell (sel punca) dalam darah tali pusar, hingga kini masih dalam tahap penelitian, sehingga penyelenggaraan pelayanannya diatur secara ketat oleh Kemenkes (Kementerian Kesehatan) sebagaimana dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2018

Dalam tradisi Jawa, tali pusar bayi merupakan bagian dari sedulur papat limo pancer (bagian dari saudaranya sendiri) yang wajib dijaga demi keselarasan dan pengendalian diri atas nafsu yang tidak baik. Biasanya diadakan tradisi puputan (tradisi Jawa) sebagai ritual yang istimewa saat bayi sudah cuplak puser (putus tali pusar). Hawa nafsu tersebut kerap dikaitkan dengan empat nafsu manusia dalam ilmu tasawwuf: Ammarah (nafsu yang mengajak kepada keburukan), lawwamah (nafsu yang senantiasa menyesali perbuatan dosa), muthmainnah (nafsu yang tenang dan tak khawatir atas kepastian janji Allah), mulhamah (nafsu yang dibimbing oleh Allah)

Lalu bagaimana perspektif Islam mengenai tali pusar ini?

Dasar yang seringkali dikutip berkenaan dengan pertanyaan di atas adalah momen saat Rasulullah ﷺ meminta kepada Abu Hurairah agar dibawakan bebatuan untuk beliau ber-istinja’ dan melarangnya membawakan tulang dan kotoran. 

هُمَا مِنْ طَعَامِ الجِنِّ، وَإِنَّهُ أَتَانِي وَفْدُ جِنِّ نَصِيبِينَ، وَنِعْمَ الجِنُّ، فَسَأَلُونِي الزَّادَ، فَدَعَوْتُ اللَّهَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَمُرُّوا بِعَظْمٍ، وَلاَ بِرَوْثَةٍ إِلَّا وَجَدُوا عَلَيْهَا طَعَامًا

Keduanya (tulang dan kotoran) adalah makanan jin. Sesungguhnya telah datang kepadaku sekelompok Jin Nashibin dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku, kemudian aku memohon kepada Allah untuk mereka agar mereka tak melewati tulang dan kotoran kecuali mendapatkan makanan padanya (tulang atau kotoran) (HR. Bukhari no. 3860). 

Memang, dari sabda beliau ﷺ telah jelas bahwa tulang adalah makanan jin. Mengenai hal ini, ulama Yaman Imam Syaukani, menerangkan bahwa makanan adalah sesuatu yang mulia—terlepas dari siapa pun yang memakannya— oleh karenanya Rasulullah ﷺ melarang umatnya untuk ber-istinja’ (bersuci setelah BAB atau BAK) menggunakan tulang.

Namun, larangan menyimpan tali pusar tidak berkaitan dengan hadis ini. Sebab tali pusar tidak terbentuk dari tulang rawan, akan tetapi struktur tali pusar terdiri dari tiga unsur: pembuluh darah (dua arteri dan satu vena), wharton’s jelly (cairan yang mengisinya)dan amnion sebagai pelapisnya. Dengan demikian, hukum menyimpan tali pusar adalah sebagaimana menyimpan bagian tubuh pada umumnya, bukan khusus kepada tulang.

Selanjutnya, bagaimana cara mengurus tali pusar ini menurut Islam?

Beberapa ulama Syafii seperti Syihabuddin Al-Qalyubi, Al-Barmawiy, dan Al-Bujairami menjelaskan bahwa tali pusar yang dikenal dengan istilah al-khalash (الخلاص) dianggap termasuk bagian dari tubuh bayi. Dan menyimpan bagian tubuh yang telah terpisah dari pemiliknya tidaklah dianjurkan.

Syeikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami, Zakariya Al-Anshari, dan Imam Nawawi menjelaskan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari seseorang yang masih hidup semisal rambut, kuku, dan bagian lainnya sebaiknya dipendam atau dikuburkan dalam rangka memuliakan pemiliknya sebagaimana manusia yang akan dikuburkan saat telah meninggal dunia.

Pernah ada seseorang bertanya kepada Imam Ahmad mengenai seorang laki-laki yang memotong rambut dan kuku-kukunya, apakah sebaiknya ia kubur atau buang. Imam Ahmad menganjurkan untuk menguburkannya sebagaimana Ibnu Umar ra. dulu melakukannya. 

Sahabat KESAN yang budiman, demikianlah para ulama mengajarkan cara mengurus tali pusar yang telah terputus dengan cara dipendam sebagaimana kuku, rambut, dan kulit luar yang terkadang mengelupas. Namun, bila sahabat hendak menyimpannya, maka boleh-boleh saja sebagaimana hukum bolehnya menyimpan kuku dan rambut yang rontok.

Berkenaan dengan mudharat berupa sulitnya anak untuk dididik, hendaknya sebagai seorang muslim yang beriman kita meyakini bahwa kesuksesan dalam mendidik anak adalah berkat pertolongan Allah serta kesungguhan orang tua dan anak itu sendiri -- bukan bergantung pada hal-hal yang belum tentu kebenarannya.

Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Wallahu a’lam bi ash-shawabi

Referensi: Mughni Al-Muhtaj: 1/235; Peraturan Kemenkes Nomor 32 Tahun 2018.; Shahih Al-Bukhari: 5/46; Nailu Al-Awthar: 1/128; Australasian Journal of Ultrasound in Medicine: The development, structure and blood flow within the umbilical cord with particular reference to the venous system: Jacquelline Spurway, AMS, Paticia Logan, PhD, and Sokcheon Pak, PhD.; Jurnal Komunitas, Research & Learning in Sociology and Anthropology: Jenang Mancawarna Sebagai Simbol Multikulturalisme Masyarakat Jawa: Imam Baihaqie; Hasyiyah Al-Bujairomiy: 1/485; Hasyiyah Al-Jamal: 2/190; Hasyiyata Qolyubi wa ‘Amirah: 1/395; Al-Majmu’: 5/254; Asna Al-Mathalib: 1/11,313; Tuhfatu Al-Muhtaj: 3/161.

###

*

Share it:

Islam

Keluarga

news

Tanya Jawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching