BELAJAR DARI KESEDERHANAAN HIDUP NABI.
Tak ada satupun hadis yang pernah menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW berpakaian mewah. Tak ada satupun hadis yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berperilaku yang mencirikan gelimang harta. Ya, karena memang itu tak pernah terjadi. Para saksi sejarah menggambarkan kehidupan Nabi adalah kehidupan yang amat sederhana. Jauh dari cerminan jika beliau adalah seorang penguasa besar. Jauh dari gambaran masyarakat awam jika beliau adalah pemangku risalah semesta. Menurut riwayat yang ada, rumah Nabi di Madinah dulu hanyalah diatapi pelepah kurma, dengan tembok yang amat sederhana. Hanya ada ruang salat, ruang tamu, kamar Nabi sendiri, dan kamar putri beliau Fathimah. Rumah istri-istri beliau pula demikian, semua ada sembilan. Empat berpondasikan batu bata, sementara sisanya berpondasi batu gunung yang ditata. Rumah-rumah tersebut beralaskan tanah. Tak ada plester. Sungguh amat sederhana.
Dalam kesederhanaan hidup beliau, Nabi hanya tidur beralaskan tikar. Ketika terjaga, kadang nampak jelas gurat-gurat anyaman tikar membekas di tubuh mulia beliau. Sahabat Abdullah bin Mas’ud yang masuk ke bilik beliau amat prihatin melihat kondisi semacam ini. Bagaimana mungkin para raja-raja Persia dan Romawi tidur beralaskan permadani dan kasur yang nyaman, sementara seorang nabi yang kedudukannya lebih mulia hanya tidur beralaskan tikar? “Duhai Nabi, bagaimana jikalau aku buatkan tali geriba untuk alas tidur engkau. Sehingga tubuhmu terlindung dari tikar ini?” Pinta sahabat Ibn Mas’ud.
Tapi apa jawab Nabi sungguh menggetarkan hati. Beliau sama sekali tak terfikirkan untuk melakukan itu. “Dunia tak ada apa-apanya bagiku. Aku hanyalah seperti seorang penunggang berteduh dibawah pohon. Yang sebentar berlalu meninggalkan pohon itu.”
Sebuah pelajaran bermakna, dimana hidup hanya sementara. Tak penting untuk melewatkannya dalam pundi-pundi harta. Hidup sederhana lebih baik. Seperti sabda Nabi, “Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya. Yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.”[1] Dan beliau pernah berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan wafatkan aku dalam keadaan miskin. Lalu kumpulkanlah aku bersama golongan orang-orang miskin.”[2] Hadis yang disebut terakhir bukan berarti beliau menganjurkan orang untuk hidup miskin dan serba kekurangan, akan tetapi ‘miskin’ yang disebut Nabi, memiliki makna rezeki yang diterima tidaklah melebihi kebutuhan hidup. Demikian tafsiran Ibn Batthal, salah satu komentator Shahih Bukhari[3]. Artinya, hidup dalam keadaan yang cukup, atau bisa diartikan sederhana adalah apa yang diminta oleh Nabi.
Seperti juga sabda Nabi yang lain, kala para sahabat beliau membicarakan tentang dunia disamping beliau, beliau hanya berkomentar, “Dengarkanlah, sesungguhnya kesederhanaan adalah sebagian dari sempurnanya iman. Sungguh kesederhanaan adalah sebagian dari sempurnanya iman.”[4]
Nabi Muhammad SAW dan keluarga beliau juga bisa dikatakan hampir tidak pernah merasakan kenyang. Sahabat ‘Aisyah RA sebagai salah satu orang terdekat Nabi bahkan menyaksikan sendiri. Jika sejak berhijrah, sampai beliau wafat, atau dalam jangka waktu lebih dari sepuluh tahun lamanya, keluarga Nabi tak pernah merasakan kenyang hingga tiga hari berturut-turut. “Tidak pernah kenyang keluarga Muhammad SAW dari makanan selama tiga hari berturut-turut hingga beliau Nabi wafat.”[5]
Disaat tidak menemukan makanan, Nabi memilih berpuasa. Sebelum itu, beliau terlebih dahulu bertanya kepada istri-istri beliau, adakah makanan? Jika dijawab tidak, maka beliau akan berpuasa. “Kalau begitu, aku berpuasa.”
Pernah suatu ketika, Fathimah RA putri beliau membawa sekerat roti. “Apakah ini?” Tanya Nabi. “Ini adalah roti yang aku buat sendiri. Tak puas rasanya bila tak berbagi dengan ayah.” Jawab sang putri tercinta. “Ya, bawalah kesini. Inilah makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu ini sejak tiga hari yang lalu.”
Meskipun sebenarnya, beliau mampu meminta kepada Allah SWT untuk dijadikan orang paling kaya di muka bumi. Namun beliau bukanlah orang yang mencintai martabat dan kekayaan dimata manusia. Suatu ketika, tatkala beliau menatap gunung Uhud, beliau bersabda. “Aku tidak senang andaikan gunung ini jadi emas untuk keluarga Muhammad. Niscaya kuinfakkan di jalan Allah, sampai saat aku mati, hanya tersisa dua dinar untuk menjaga-jaga kalau aku punya tanggungan hutang.”
Perilaku sederhana inilah yang kemudian ditiru oleh para sahabat-sahabat terdekat beliau. Hampir semuanya mencerminkan perilaku hidup sederhana. Sahabat Abu Bakar RA, semassa menjabat khalifah pada awalnya tetap bekerja ke pasar. Beliau membaur bersama penduduk lain yang sama-sama mencari nafkah untuk keluarga mereka. Hingga akhirnya beliau tak perlu lagi bekerja dengan gaji yang beliau terima dari baitul mal atas usulan sahabat. Tentu saja agar beliau fokus hanya mengurusi pemerintahan, tanpa terganggu urusan keluarga. Namun di satu riwayat, pada akhir hayat beliau, beliau kembalikan lagi gaji yang pernah diterima. Sahabat Umar RA pula demikian. Tidak hidup mewah, meskipun hasil rampasan perang dari negri Persia jumlahnya mencapai jutaan dinar. Sahabat Umar RA semasa menjabat khalifah berpakaian apa adanya. Sering sekali orang yang belum mengenali beliau akan salah paham jika beliau adalah seorang khalifah, dan menyangkanya sebagai rakyat jelata.
Bagaimana dengan kehidupan kita hari ini? Masihkah kita lalai dengan dunia, sehingga menjadikan nilai kualitas dan kuantitas ibadah kita kian berkurang? Walaupun hanya sehari, setidaknya kita coba membiasakan hidup sesederhana hidup Nabi.
[1] HR. Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353.
[2] HR. Turmudzi. No. 2353. Dan Ibn Majah. No. 4126.
[3] Syarah Shahih Bukhari Ibn Bathhal. Juz 10. Hal 171. Maktabah Syamilah.
[4] Syi’abil Iman. Juz 8. Hal 432. Maktabah Syamilah.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: ذَكَرَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عِنْدَهُ الدُّنْيَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَلَا تَسْمَعُونَ إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ، إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ “
[5] Shahih Bukhari. Hadis 6454. Hal. 2857. Cet. Al-Busyra.
حَدَّثَنِي عُثْمَانُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ، مِنْ طَعَامِ بُرٍّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا، حَتَّى قُبِضَ»
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar