ikl Tanya Kiai: Memanfaatkan Barang Gadaian - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Kiai: Memanfaatkan Barang Gadaian

Share it:

Pertanyaan (Setio, bukan nama sebenarnya):

Bagaimana hukum menggadaikan sesuatu barang di mana (1) barang gadaian tersebut digunakan oleh pihak penerima gadai (penggadai) (2) barang gadaian tidak berpindah dan tetap dimanfaatkan oleh pegadai.

Misalnya, seseorang butuh uang lalu menggadaikan motornya kepada penerima gadai. Bolehkan motor itu digunakan oleh penerima gadai selama si pegadai berhutang? Bolehkah motor itu tidak berpindah dan tetap di tangan si pegadai? 

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Sebelum menjawab pertanyaan di atas. Kami merasa perlu untuk memberikan penjelasan tentang definisi beberapa hal terkait persoalan ini.

Pertama, pegadai adalah orang yang menggadaikan barangnya untuk ditukar uang.

Kedua, gadaian adalah barang yang digadaikan. 

Ketiga, penggadai adalah orang yang menerima barang (gadaian) atau disebut penerima gadaian. 

Dalam fikih, pegadai disebut rahin. Sedang penerima gadai (penggadai) disebut murtahin dan barang gadaiannya disebut marhun.

Terkait kasus pertama, bagaimana hukum barang gadaian yang dimanfaatkan oleh penerima gadai?

Terkait hal ini, para ulama berbeda pendapat menyikapi persoalan ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian yang lain tidak.

Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa bagi penerima gadai (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang gadaian meskipun dengan seizin pegadai (rahin), karena hal tersebut termasuk riba.

Adapun ulama mazhab Maliki dan Syafii mengatakan bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadaian selama atas izin si pegadai. Bahkan mazhab Maliki menekankan agar manfaat atau kegunaan dari barang gadaian tidak menjadi sia-sia, maka pegadai boleh mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkannya.

Misalnya, yang digadaikan adalah tanah. Jika tanah itu adalah berupa tanah persawahan atau tanah ladang, membiarkannya untuk tidak dikelola, justru akan berakibat pada rusaknya struktur tanah dan bahkan bisa berubah fungsi. Nah untuk hal ini, penerima gadai boleh memanfaatkannya.

Sementara itu, dalam kasus kedua, bagaimana hukumnya jika barang gadaian tidak berpindah dan tetap dimanfaatkan oleh pegadai?

Terkait kasus ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum pegadai dalam menggunakan atau memanfaatkan barang yang ia gadaikan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pegadai (rahin) tidak boleh memanfaatkan barang gadaiannya kecuali dengan seizin penerima gadai (murtahin). 

Di dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan:

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِلرَّاهِنِ وَلَا لِلْمُرْتَهِنِ اْلِانْتِفَاعُ بِالْمَرْهُوْنِ مُطْلَقًا، لَا بِالسُّكْنَى وَلَا بِالرُّكُوبِ، وَلَا غَيْرِهِمَا، إِلاَّ بِإِذْنِ الآخَرُ، وَفِي قَوْلٍ عِنَدَهُمْ‏:‏ لَا يَجُوزُ الْاِنْتِفَاعُ لِلْمُرْتَهِنِ وَلَوْ بِإذْنِ الرَّاهِنِ‏‏ لِأَنَّهُ رِبًا

Maka Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya pegadai dan penerima gadaian tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan secara mutlak, baik dengan menempati (rumah yang digadaikan), menaiki kendaraan (yang digadaikan), ataupun selainnya, kecuali dengan seizin pihak lainnya. Dalam satu pendapat menurut mereka, bagi penerima gadai/penggadai (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang gadaian meskipun dengan seizin pegadai (rahin), karena itu riba.

Pernyataan di atas menegaskan bahwa baik pegadai dan penggadai (penerima gadaian) tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan secara mutlak

Mazhab Hanafi beralasan bahwa murtahin memiliki hak yang tetap dalam menahan barang gadaian. Oleh karena itu, pegadai tidak boleh menarik kembali barang gadaiannya untuk dimanfaatkan atau digunakan. Jika pegadai memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin murtahin, maka ia harus mengganti nilai (harga) yang ia manfaatkan.

Pendapat mazhab Hanbali sama dengan mazhab Hanafi, yaitu pegadai tidak boleh menggunakan barang gadaian kecuali atas izin atau kerelaan dari penerima gadai. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh mazhab Maliki. Bahkan pendapat mereka lebih ketat dibanding mazhab Hanafi dan Hanbali. 

Menurut mazhab Maliki, jika penerima gadai/penggadai mengizinkan pegadai untuk memanfaatkan barang gadaian, maka akad gadainya menjadi batal, karena pemberian izin tersebut dianggap mengabaikan kewajibannya dalam gadai. Agar manfaat atau kegunaan dari barang gadaian tidak menjadi sia-sia, maka pegadai boleh mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkannya.

Sementara itu, pendapat mazhab Syafii berbeda dengan tiga mazhab lainnya, di mana pegadai boleh memanfaatkan barang gadaian selama tidak mengurangi nilai (harga) barang gadaian, karena manfaat dari barang gadaian adalah milik pegadai. 

Misalnya, si A butuh uang dan ia punya emas, sementara ia punya teman si B yang punya uang. Si A menggadaikan emasnya ke si B. Si A boleh memanfaatkan barang gadaiannya (emas) karena emas itu tidak (mungkin) berkurang nilainya. Lain halnya jika barang gadaian itu berupa barang yang menyusut nilainya, seperti motor, maka itu tidak boleh.

Mereka (ulama syafii) juga beralasan bahwa utang—yang menjadi penyebab terjadinya gadai—tidak berkaitan dengan manfaat barang gadaian. Meskipun demikian, hak menahan barang gadaian tetap berada di tangan murtahin. Pendapat mereka juga didasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

Punggung kendaraan boleh dinaiki jika tergadai, susu boleh diminum jika tergadai, dan bagi orang yang menaiki dan meminum wajib memberikan nafkahnya (biaya perawatan) (HR. Ibnu Majah no. 2440). 

Pendapat mazhab Syafii ini di antaranya diungkapkan oleh ulama Syafii Imam Ar-Ramli:

وَلَهُ أَيْ لِلرَّاهِنِ كُلُّ انْتِفَاعٍ لَا يَنْقُصُهُ أَيْ الْمَرْهُونَ

Bagi pegadai boleh memanfaatkan barang secara penuh yang tidak mengurangi (nilai) barang gadaian.

Adapun hukum gadai di mana penerima gadai mensyaratkan agar pegadai tidak boleh memanfaatkan barang gadaian, maka sah menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal yang sama juga dikemukakan mazhab Syafii, jika pemanfaatan tersebut dikhawatirkan mengurangi nilai jual barang gadaian. Namun, jika pemanfaatannya tidak mengurangi nilai barang, maka hukum gadai dengan syarat demikian juga sah, namun syarat tersebut batal (tidak berlaku). 

Hal ini sejalan dengan kaidah fikih:

مَا ثَبَتَ بِالشَّرْعِ مُقَدَّمٌ عَلَى مَا ثَبَتَ بِالشَّرْطِ

Ketentuan yang ditetapkan oleh syariat didahulukan atas ketentuan yang ditetapkan oleh syarat.

Sahabat yang budiman, berdasarkan kasus di atas, menurut mazhab Syafii, sahabat bisa menggunakan barang yang sahabat gadaikan ke penerima gadai selama nilai barang itu tidak berkurang atau menyusut nilainya, seperti emas.

Namun, jika barang itu seperti motor yang dikhawatirkan nilainya menyusut, maka hal tersebut tidak boleh, kecuali atas izin penerima gadai. Begitupun sebaliknya, jika penerima gadai ingin memanfaatkan barang gadaian, maka ia harus mendapat izin pegadai. 

Adapun mazhab Hanafi, dan Hanbali menyatakan pegadai dan penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan secara mutlak, kecuali dengan seizin pihak lainnya. Bahkan, dalam satu pendapat menurut mazhab Hanafi, bagi penerima gadai (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang gadaian meskipun dengan seizin pegadai (rahin), karena itu dianggap riba.

Wallahu a’lam bi ash-shawabi

ReferensiAl-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh; Wahbah Az-Zuhaili, Nihayah Al-Muhtaj; Syamsuddin Ar-Ramli.

###


Share it:

Hukum

Islam

news

Tanya Jawab

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching