Saya menikah karena menuruti keinginan orang tua saya tanpa ada rasa cinta sama sekali. Yang saya percaya hanyalah ridho orang tua yang akan mendatangkan kebahagiaan nantinya. Namun, sekian lama berumah tangga, saya tetap tidak bisa mencintai suami saya.
Akibatnya, saya tidak pernah mau disentuh olehnya. Saya selalu menolak terutama jika akan berhubungan badan. Saya sangat sadar jika itu adalah perbuatan dosa, karena tugas istri adalah melayani suami, sementara saya tidak ingin melakukannya dengan terpaksa. Jadi sebaiknya saya harus bagaimana? Apakah boleh jika dalam keadaan tersebut saya meminta suami untuk menceraikan saya?
Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah, S.H.)
Suami maupun istri mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing. Salah satu kewajiban suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah lahir dan batin. Sementara kewajiban istri adalah mentaati suaminya, termasuk salah satunya bersedia ketika diajak untuk bersenang-senang atau berhubungan badan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya lalu ia (istrinya) mengabaikan (suami)nya, kemudian suami tersebut bermalam dalam keadaan marah kepada istrinya (sebab penolakan tersebut), niscaya malaikat melaknat istrinya hingga tiba waktu subuh (HR. Bukhari no. 3237).
Banyak hadis dan pendapat ulama yang membahas hadis di atas sebagai kewajiban istri yang mutlak (tanpa tanpa syarat), sehingga tertanam dalam benak kita seolah bahwa menolak ajakan suami bagi istri adalah berdosa.
Padahal, Islam hadir salah satu tujuannya adalah untuk mengangkat derajat manusia, tak terkecuali perempuan. Penolakan istri yang dilarang dalam hadis di atas tentu saja adalah penolakan yang dilakukan tanpa adanya udzrun syar’i (halangan yang legal menurut syariat).
Artinya, jika seorang istri menolak hubungan suami istri tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan menurut syariat, maka itulah yang berdosa. Namun, jika seorang istri menolak hubungan suami istri karena ada alasan yang bisa dibenarkan syariat, misalnya sedang sakit, haid, dll, maka hal itu tidaklah berdosa.
Seorang ulama Syafii Imam Zainudin Al-Malibari menjelaskan bahwa yang termasuk udzrun syar’i, misalnya, kemaluan (alat kelamin) suami yang begitu besar jika dipaksakan untuk berhubungan badan dengan istri akan menyakiti, istri sedang sakit, haid, dan lain sebagainya.
Senada dengan pendapat tersebut, salah seorang ulama fikih Syeikh Muhammad Syatha Addimyati menyatakan bahwa penolakan istri dengan udzur semacam itu tidaklah termasuk perbuatan nusyuz (membangkang kepada suami).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka keharaman penolakan dalam HR. Bukhari no. 3237 di atas tidaklah bersifat mutlak (tergantung kondisi dan persoalan). Oleh karena itu, aktivitas berhubungan badan antara suami dan istri hendaknya mempertimbangkan berbagai aspek satu sama lain demi kemaslahatan dan keharmonisan rumah tangga.
Hubungan Ketersalingan
Ketentuan-ketentuan hubungan suami istri juga harus dilihat dari segi kesalingan dalam ikatan perkawinan, di mana seorang istri memilki hak biologis yang sama sebagaimana suami, sehingga ketentuan yang berlaku bagi istri juga patut diberlakukan kepada suami.
Dengan demikian, seorang suami harus memperlakukan seorang istri dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf), bukan justru mengeksploitasi istri atas dasar bahwa seorang istri harus patuh secara mutlak.
Allah berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Karena itu, komunikasi yang lancar dan baik serta penghargaan satu sama lain adalah kunci untuk bisa saling memahami satu sama lain.
Istri Meminta Cerai
Terkait keinginan seorang istri yang meminta cerai suami, ada dua model perceraian yang bisa dilakukan.
Pertama, istri bisa meminta kepada suaminya untuk menceraikannya.
Kedua, istri bersedia memberikan uang tebusan kepada suaminya dengan tujuan agar sang suami mau menceraikan dirinya. Gambaran perceraian ini dikenal dengan istilah khulu’.
Ulama Hanbali Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seorang perempuan yang tidak menyukai suaminya dan terpaksa menolak keinginan suaminya, sementara ia tahu bahwa dengan sikap tersebut ia akan bermaksiat kepada Allah, maka ia boleh mengajukan khulu’. Ketidaksukaan yang dimaksud bisa dari berbagai aspek, misalnya tidak suka akhlaknya, fisiknya, agamanya, usianya, dsb.
Allah berfirman:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (istri), kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya (QS. Al-Baqarah [2]: 229).
Kesimpulan
Sahabat KESAN yang budiman, kehidupan berumah tangga tidak akan sepi dari ujian dan cobaan. Oleh sebab itu, Allah telah memberi kita petunjuk untuk menyelesaikannya dengan berbagai solusi. Salah satunya adalah dengan mempertemukan mediator dari pihak istri dan suami saat keduanya sudah tidak lagi memiliki komunikasi yang sehat.
Allah berfirman:
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal (QS. An-Nisa [4]: 35).
Adapun terkait persoalan sahabat di atas, saran kami, jika masih memungkinkan rumah tangga itu dipertahankan dan ada potensi cinta yang bisa dibangun, maka hendaknya berusahalah untuk mempertahankan dan membangun benih cinta itu karena Allah. Jikapun hal tersebut tidak memungkinkan (sahabat yang lebih tahu hal itu), maka meminta cerai kepada suami bagi istri diperbolehkan dalam Islam. Mohon dipertimbangkan baik-baik dengan anggota keluarga sebelum memilih perceraian sebagai opsi terakhir. Sebab meskipun ia halal, ia merupakan perkara yang tidak disukai Allah. Semoga Allah memberi jalan keluar terbaik atas urusan sahabat. Amiin.
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Shahih AL-Bukhari: 4/116; Syarhu Al-Bukhari li Ibni Al-Bathal: 7/317; Nailu Al-Awthar: 6/646; I’anatu Ath-Thalibin: 4/90; Al-Mughni li Ibni Qudamah: 7/323.
###
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar