Dunia pesantren adalah wilayah kajian yang selalu menarik perhatian para peneliti ilmu-ilmu agama Islam, ilmu-ilmu sosial, dan Antropologi. Sudah banyak hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang membuka cakrawala pemkiran tentang dunia Pesantren yang unik dan menyimpan berbagai kekayaan budaya. Dari sudut apapun, memandang Pesantren selalu mendapatkan sesuatu yang unik, yang tidak ditemukan dalam komunitas budaya yang lain. Hal ini, terutama, apabila kita mengkaji perilaku kiai dan santrinya dalam transformasi dan perubahan sosial yang mengukuhkan pesantren sebagai subkultur (meminjam istilah KH. Abdurahman Wahid). Sebagai subkultural, perananan pesantren tampak menonjol sebagai agen perubahan dan tranformasi sosial dalam masyarakat sekitarnya. Dari sinilah, yang menjadi salah satu keunikan
dunia pesantren.
Apalagi jika dikaitkan dengan cara masyarakat pesantren memandang dan menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan yang sering diluar dugaan orang banyak. Perlu diketahui bahwa eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari lima unsur, yaitu pondok atau asrama, masjid, santri, kiai, dan kitab yang satu sama lain saling mengisi dan saling berkaitan. Pesantren atau dapat juga disebut masyarakat pesantren, memiliki budaya khas masyarakat tradisional di pedesaan. Ke-khasan pesantren, antara lain terletak pada dua hal: pertama, cara mengajarkan, mengembangkan, dan menyebarkan agama islam, serta ditandai dengan nilai-nilai persaudaraan, tolong menolong, persatuan, menuntut ilmu, ikhlas dan taat kepada Tuhan dan rasul, ulama sebagai pewaris nabi. Kedua, pesantren sering disebut kampung peradaban (oleh para peneliti barat) yang ditandai dengan banyaknya alumni yang mampu menjadi pioner intelektual di tanah air.
Bahkan Menurut Azyumardi Azra, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkunganya. Pesantren mempunyai keterkaiatan erat yang tidak terpisahkan dengan komunitas lingkunganya. Kenyataan itu bisa dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri.
Dalam pandangan Azzumardi Azra, “pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuanya untuk melakukan adjustment dan readjustment, tetapi karena karakter esensialnya sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keislaman. Selain itu di pesantren juga terkandung makna keaslian Indonesia” (indigenous). Pesantren sebagai tempat hidup dan belajar para santri bukan hanya sebagai lembaga pendidikan
tertua di negeri seribu pulau ini, tetapi juga merupakan saksi sejarah tentang berbagai perkembangan indonesia sebagai bangsa di tengah pergaulan dunia yang semakin terbuka. Bahkan dalam suasana damai, perang kemerdekaan, gegap gempita gempuran arus global yang sampai saat ini belum jelas bahkan acapkali menorehkan arahnya, hal ini tidak pernah lepas dari perhatian pesantren.
Hari ini–meski pengakuan secara historis sudah menempatkan peran pesantren sebagai salah satu institusi yang sudah memberikan sumbangsih besar dalam dunia pendidikan dan pembangunan SDM–akan tetapi kita tidak bisa tidur lelap begitu saja. Masih banyak pekerjaan yang belum kita selesaikan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Bukankah masyarakat juga terus menuntut supaya pesantren terus-menerus membaca realitas masyarakat–terutama hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat–. Dengan kondisi masyarakat yang banyak menghadapi problematika ekonomi, budaya,
politik, dan aspek- aspek lainya, ternyata menempatkannya sebagai tantangan tersendiri bagi setiap institusi yang bertanggungjawab dalam mendidik SDM. Sehingga institusi otomatis dituntut untuk mengakomodasinya. Bahkan ikut memberikan jawaban konkrit atas panggilan kemaslahatan bangsa.
Ketika gerakan setiap elemen bangsa ini misalnya sedang terfokus pada upaya mewujudkan kemandirian di sektor ekonomi akibat problem ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi tekanan krisis multidimensi, maka masyarakat pun kemudian meminta setiap institusi pendidikan–termasuk pesantren–supaya tidak hanya melahirkan atau memproduk out put yang fasih teori saja. Akan tetapi juga fasih terhadap keterampilan, kemandirian atau etos kerja. Sekurang-kurangnya mampu memunjukan semangat untuk berbagai hal termasuk ekonomi (wirausaha).
Mengapa pesantren harus bisa memperluas kontribusinya? Karena secara realitas, masyarakat sedang membutuhkan peranannya. Atau masyarakat mempercayai kalau pesantren akan bisa berbuat banyak dalam memberikan solusi yang tepat terkait problem sosial-ekonomi.
Sebagai lembaga tertua, tentulah pesantren sudah kaya akan pengalaman adanya bacaan dalam mencerna dan menyikapi problem yang dihadapi oleh bangsa ini, khususnya yang kelak ditemuai oleh komunitas santri saat terjun di tengah pergumulan masyarakat.
Ketika sekarang bangsa ini sedang menghadapi problem besar di sektor ekonomi dan lapangan pekerjaan, maka logis jika pesantren ditantang untuk bisa menunjukan kepada bangsa ini sebagai institusi yang kapabel dalam memberikan solusi terhadap problema tersebut. Permasalahan yang ada pada dunia kerja di indonesia yang hingga kini sarat dengan problem pengangguran intelektual adalah tantangan konkrit yang tidak bisa dibiarkan, apalagi sampai dibuat semakin parah. Sebab jika kondisi ini makin sulit, maka potensial akan melahirkan banyak kerawanan atau penyakit-penyakit sosial.
Seperti tindakan kriminalitas.
Untuk mengawali tujuan mulya itu, marilah kita bersama-sama memantapkan SDM yang berpijak pada tradisi lokal. Yang dimaksud adalah daurah tsaqofah, yaitu menejrial kebudayaan yang dilakukan untuk membangun mental intelektual dan spiritual, berfikir terbuka, mampu mengembangkan potensi dirinya dengan tetap berpijak pada tradisi, diramu dengan model kekinian sesuai perkembangan zaman, bersifat, istiqomah, bertahap, dan sistematis. Dalam konteks bentuk tsaurah kebudayaan antara lain: Nahdlatun Wathan, Nahdlatun fikri dan Nahdlatun tujjar.[]
Penulis, Arsyad Muhammad
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar