Pertanyaan (Anang, bukan nama sebenarnya):
Bolehkah kita mengamalkan hadis dhaif? Atau cuma hadis sahih saja yang boleh dipakai?
Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi & Redaksi ):
Sebelum kita membahas apakah boleh atau tidaknya mengamalkan hadis dhaif, mungkin ada baiknya kita membahas ragam derajat hadis terlebih dahulu. Sederhananya, hadis terbagi menjadi empat macam berdasarkan derajat kualitasnya:
1. Hadis sahih: hadis yang sehat dan tanpa cacat. Artinya, para ulama hadis menilai bahwa suatu hadis betul-betul bersumber dari Rasulullah ﷺ.
2. Hadis hasan: hadis yang baik. Artinya, para ulama menilai bahwa suatu hadis ada sedikit kelemahan, tetapi secara keseluruhan baik. Hal ini juga berarti para ulama hadis yakin bahwa suatu hadis bersumber dari Rasulullah ﷺ.
3. Hadis dhaif: hadis yang lemah. Artinya, para ulama menilai bahwa suatu hadis memiliki kelemahan yang cukup serius sehingga menyebabkan mereka kurang yakin bahwa hadis tersebut bersumber dari Rasulullah ﷺ.
4. Hadis maudhu’: hadis palsu. Artinya, para ulama yakin bahwa suatu hadis tidak bersumber dari Rasulullah ﷺ, bahkan dibuat-buat.
Secara umum, para ulama hadis sepakat bahwa hadis sahih dan hasan dapat dijadikan hujjah (bukti) dan dalil dalam hal apa pun terkait agama Islam.
Nah, terkait hadis dhaif, ada sebagian kecil ulama hadis yang mengatakan bahwa hadis dhaif tidak boleh digunakan dalam hal apa pun. Hal ini umumnya dikarenakan sikap kehati-hatian mereka dalam menyikapi suatu hadis.
Namun demikian, sejak dahulu para ulama hadis dan sebagian besar ulama hadis membolehkan meriwayatkan dan mengamalkan hadis dhaif karena mereka menilai bahwa hadis dhaif itu lemah, bukan palsu. Tidak jarang suatu hadis yang awalnya dinilai lemah, kemudian naik pangkat menjadi ‘hasan’ atau ‘sahih’ setelah diteliti lebih lanjut.
Singkatnya, sebeagian besar ulama hadis menyatakan boleh mengamalkan hadis dhaif selama hadis tersebut tidak berkaitan dengan akidah, sifat-sifat Allah, dan hukum Islam (fikih).
Mahmud Ath-Thahhan berkata:
اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْعَمَلِ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ، الَّذِيْ عَلَيْهِ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهٌ يُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ
Ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan hadis dhaif. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama adalah disunnahkan mengamalkan hadis dhaif dalam masalah fadhail amal (keutamaan amal-amal yang baik).
Contoh hadis yang dinilai dhaif (oleh sebagian ulama) yang mencakup fadhail amal misalnya:
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَاسْتَظْهَرَهُ فَأَحَلَّ حَلاَلَهُ وَحَرَّمَ حَرَامَهُ أَدْخَلَهُ اللَّهُ بِهِ الْجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ كُلُّهُمْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ
Barang siapa membaca Al-Qur’an kemudian dia menghafalnya dan menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an serta mengharamkan apa yang diharamkan Al-Qur’an, niscaya dengannya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan dapat memberi syafaat kepada 10 keluarganya yang masuk neraka (HR. Tirmidzi no. 2905; gharib menurut Imam Tirmidzi).
Hadis di atas menegaskan keutamaan seorang hafiz Al-Qur’an yang hidup berdasarkan Al-Qur’an, sehingga insyaAllah masuk surga dan diberikan kesempatan menyelamatkan 10 orang anggota keluarganya yang divonis neraka. Walaupun hadisnya lemah, menjadi hafiz Al-Qur’an adalah suatu hal yang baik dan ditopang oleh hadis-hadis sahih maupun hasan lainnya. Sehingga boleh saja mengutip hadis ini untuk menyemangati seseorang untuk menjadi penghafal Al-Qur’an.
Para Ulama Hadis Klasik
Sejak dulu, para ulama hadis seperti Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, menilai bahwa hadis lemah ada kegunaannya.
Ketika Imam Ibnu Mubarak ditanya apa yang harus dilakukan dengan hadis dari seorang perawi yang lemah, beliau menjawab bahwa hadis itu “tidak boleh digunakan sebagai bukti (dalil) dalam hal fikih.” Namun, “boleh meriwayatkan hadis itu dalam hal sopan santun (adab), dakwah yang baik (mauizah), zuhud, dan hal-hal semacam itu.”
Sementara itu, Imam Ahmad berkata, “Jika kami diberi tahu hadis dari Rasulullah ﷺ tentang halal dan haram, hukum syariat, maka kami pun berlaku ketat dalam hal isnadnya (rantai periwayatan suatu hadis). Namun, jika kami diberi tahu hadis dari Rasulullah ﷺ tentang keutamaan amal tertentu (fadhail amal) serta ganjarannya di dunia dan akhirat, atau suatu hadis yang tidak menciptakan atau menghilangkan hukum tertentu, maka kami berlaku longgar (tidak ketat) dalam hal isnad.”
Imam Ahmad sendiri tentunya tidak anti terhadap hadis dhaif. Dalam Musnad Ahmad, yang terdiri dari lebih dari 27,000 hadis, Imam Ahmad mencantumkan beberapa hadis dhaif. Misalnya, hadis-hadis yang perawinya ada satu orang yang tidak diketahui sehingga menyebabkan hadis-hadis tersebut lemah. Tentunya ulama besar hadis seperti Imam Ahmad yang hafal 1 juta hadis tahu bahwa jika suatu hadis memiliki perawi yang tidak diketahui, maka otomatis hadisnya menjadi lemah.
Begitu pula dengan ulama hadis yang dianggap paling mumpuni, Imam Bukhari, yang seperti gurunya, Imam Ahmad, tidak anti terhadap hadis dhaif. Selain menulis Sahih Bukhari, Imam Bukhari juga menulis beberapa kitab hadis lainnya. Dalam kitab Al-Adabul Mufrad yang berisi petunjuk adab seorang muslim yang baik, Imam Bukhari juga memasukkan hadis yang beliau anggap tidak sahih (baca: hasan atau dhaif). Hanya di Sahih Bukhari sajalah Imam Bukhari secara sistematis mengumpulkan hadis-hadis sahih.
Syarat-syarat Penggunaan Hadis Dhaif
Ulama Syafii Imam Nawawi berkata:
وَيَجُوزُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمُ التَّسَاهُلُ فِي الْأَسَانِيدِ وَرِوَايَةُ مَا سِوَى الْمَوْضُوعِ مِنَ الضَّعِيفِ، وَالْعَمَلُ بِهِ مِنْ غَيْرِ بَيَانِ ضَعْفِهِ فِي غَيْرِ صِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَالْأَحْكَامِ كَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ، وَمِمَّا لَا تَعَلُّقَ لَهُ بِالْعَقَائِدِ وَالْأَحْكَامِ.
Menurut para pakar hadis dan selain mereka, boleh menganggap mudah dalam sanad-sanad hadis dhaif, meriwayatkan hadis dhaif selain hadis maudhu’ (palsu), dan mengamalkannya tanpa menjelaskan kelemahannya dalam selain sifat-sifat Allah Ta’ala, hukum-hukum seperti halal dan haram, dan sesuatu yang tidak berkaitan dengan aqidah dan hukum.
Ulama hadis dan tafsir Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa jika seseorang ingin meriwayatkan hadis dhaif, maka ia jangan menegaskan bahwa ini adalah sabda Rasulullah ﷺ atau perbuatan beliau ﷺ dengan berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda …”. Namun, hendaknya ia berkata “Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda ..,” atau semisalnya, berupa perkataan yang tidak secara tegas menjelaskan bahwa itu adalah sabda Rasulullah ﷺ.
Adapun ulama hadis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani memberikan tiga syarat bila ingin mengamalkan hadis dhaif, yaitu:
1. Lemahnya tidak terlalu berat (dhaif jiddan). Oleh karena itu, tidak boleh mengamalkan hadis matruk, atau hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dicurigai sebagai pendusta.
2. Masuk (dapat dikategorikan) ke dalam dalil lain yang diamalkan.
3. Ketika mengamalkannya, jangan meyakini akan kepastiannya, tetapi sebatas sebagai langkah hati-hati.
Kesimpulan
Berdasarkan pendapat dari sebagian besar para ulama hadis, dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis dhaif dapat diamalkan dengan syarat-syarat berikut:
1. Tidak menyangkut hal halal-haram.
2. Tidak menyangkut hal akidah dan sifat-sifat Allah.
3. Bukan hadis yang sangat lemah (dhaif jiddan).
4. Digunakan dalam masalah fadhail amal (keutamaan amal-amal yang baik) atau mengajarkan adab yang baik.
5. Isi hadisnya sejalan atau tidak berkontradiksi dengan hadis-hadis hasan ataupun sahih, apalagi Al-Qur’an.
6. Ketika menyampaikannya, ada baiknya juga disebutkan atau diindikasikan bahwa hadis ini lemah (sebagai bentuk kejujuran intelektual dan kehati-hatian).
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Muqaddimah Ibn Shalah; Ibn Shalah, Tadrib ar-Rawi; Jalaluddin As-Suyuthi, Ushul Al-Hadits ‘Ulumuh wa Musthalahuh; Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Taisir Musthalah Hadits; Mahmud Ath-Thahhan, Al-Manhall al-Lathif; Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Brown, Jonathan A.C. Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World.
###
*Jika artikel di dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar