ikl Tanya Kiyai: Makan Tinta Cumi-Cumi? - Bintang Songo

Search This Web

Popular Posts

Tanya Kiyai: Makan Tinta Cumi-Cumi?

Share it:

Tanya Kiyai: Makan Tinta Cumi-Cumi?


Pertanyaan (Asih, bukan nama sebenarnya):




Apa hukumnya makan cumi-cumi sama tintanya?

Jawaban (Ustadz Abdul Walid):
Cumi-cumi adalah binatang laut, termasuk golongan binatang lunak (mollusca), kelas cephalopoda, tidak bertulang belakang, menggunakan kepala sebagai alat untuk bergerak, mempunyai sepuluh tentakel di sekeliling mulut, dan kantong tinta yang terdapat di atas usus besar dan bermuara di dekat anus, yang berkontraksi dan mengeluarkan cairan hitam bila ada serangan.
Cumi-cumi merupakan salah satu makanan laut yang digemari banyak orang. Dengan tekstur daging yang kenyal, cumi-cumi cukup mudah untuk diolah menjadi hidangan yang nikmat. Menurut beberapa studi, cumi dan tintanya berpotensi bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Lalu bagaimana hukum mengonsumsi cumi-cumi dalam Islam?
Allah berfirman:



اُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهٗ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan (QS. Al-Maidah [5]: 96). 

Rasulullah ﷺ pernah ditanya sahabat terkait berwudhu dengan air laut dan makanan dari laut. Rasulullah ﷺ  kemudian menjawab:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Air laut termasuk air suci mensucikan, dan hewan laut yang mati (bangkai hewan laut) halal dimakan (HR. Malik no. 42). 

   Dari dalil-dalil di atas, jelas bahwa cumi-cumi halal untuk dikonsumsi.
Namun demikian, ada perbedaan pendapat dalam menghukumi cairan hitam pada cumi-cumi.
Sayyid Ba ‘Alawi Al-Hadhrami menilai bahwa cairan hitam cumi-cumi itu berasal dari bagian dalam anggota cumi-cumi. Oleh karena itu, beliau menghukumi cairan hitam cumi-cumi itu najis, ini berpatokan pada fatwa hukum Ibnu Hajar Al-Haitami bahwa setiap sesuatu yang keluar dari bagian dalam binatang, termasuk juga cumi-cumi hukumnya adalah najis.




   Sementara itu, Syeikh Thaifur Ali Wafa, melakukan pendekatan tafshil (analogi), menurutnya, bila cairan hitam tersebut memang keluar dari dalam, maka statusnya sama seperti muntah, hukumnya najis. Namun jika tidak, maka sama seperti air liur, dihukumi suci.

   Lebih lanjut, sebagian guruku (Syeikh Thaifur Ali Wafa) pernah berkata,  “Cairan hitam ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Allah pada hewan yang memilikinya untuk dijadikan tameng agar dapat berlindung dari makhluk laut yang lebih besar. Ketika terdapat makhluk laut besar yang akan memangsanya maka ia mengeluarkan cairan hitam ini agar dapat bersembunyi. Maka cairan hitam ini tidak dapat disamakan dengan muntahan ataupun air liur, sebab cairan hitam ini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas hewan ini, sehingga dihukumi suci” (Syeikh Thaifur Ali Wafa, Bulghah At-Thullab, hal. 106).

Ink sac adalah tempat cumi-cumi memproduksi tinta hitam (sumber: Lori F

   Secara anatomi, cumi-cumi memproduksi tinta hitam di sebuah tempat bernama ink sac (kantong tinta). Bila terdesak atau terancam, cumi-cumi akan mengeluarkan tintanya melewati anus kemudian keluar lewat siphon. Nah, siphon ini mempunyai banyak fungsi, seperti membantu menembak air (membantu berenang) dan mengeluarkan kotoran.

   Selanjutnya, Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Ziyad, Imam Ramli dan dan ulama yang lainnya sepakat atas sucinya darah dan kotoran yang berada di perut ikan kecil. Karena itu, ia boleh dimakan, dan tidak najisnya berminyak dengannya. Bahkan Imam Ramli memberlakukan hukum tersebut pada darah dan kotoran ikan besar.

Kesimpulan
Sahabat  yang budiman, memang ada perbedaan pendapat antara ulama terkait kenajisan atau ketidaknajisan tinta cumi-cumi.

Bagi yang gemar mengonsumsi cumi-cumi sejatinya tidak perlu khawatir sebab Ibnu Hajar Al-Haitami, Ibnu Ziyad, dan Imam Ramli memfatwakan kebolehan mengonsumsi cumi-cumi dan tintanya. Dan berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan di atas, posisi kebolehan ini kuat sekalipun memang ada perbedaan pendapat.



Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
Referensi: Bughiyyah Al-Mustarsyidin, 1/29, Tsamrat Al Raudhah As Syahiyyah , 12,  Sullam Al-Munajat,7. Bulghat Ath Thullab Fi Talkhis Fatawi Masyayikh Al Anjab, 106, Bughiyyah Al-Mustarsyidin, 1/29. Ilmu Ushul Al-Fiqh, 113.
Share it:

Hukum

Islam

iklan

Post A Comment:

0 comments:

searching