KITAB KUNING
KH Busyrol Karim Abdul Mughni
(Rais Syuriyah PCNU Kab Kediri)
Diantara sekian banyak hal yang menarik dari pesantren yang tidak terdapat dilembaga lain adalah mata pelajaran bakunya yang ditekstualkan pada kitab-kitab karya ulama-ulama dahulu yang kini dikenal dengan sebutan kitab-kitab kuning. Kitab model ini, menjadi pelajaran wajib dipesantren, bahkan dibulan Ramadhan, dibeberapa pesantren, kitab-kitab kuning besar yang berisi ratusan halaman dirampungkan bacaannya dalam waktu hanya satu bulan. Biasanya dimulai pengajarannya beberapa hari sebelum bulan Ramadhan dan rampung sebelum habisnya bulan suci itu.
Kitab kuning mempunyai ciri-ciri melekat yang untuk memahaminya memerlukan ketrampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Banyak orang yang pandai berbahasa Arab, tetapi masih mengalami kesulitan memahami isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara tepat. Namun juga sebaliknya, tidak sedikit orang yang mengusai bacaan kitab-kitab kuning tidak dapat berbahasa Arab secara aktif dan baik.
Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar, kemudian berturut-turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Sebagai contoh: Bab, Fasal, Far’un dan seterusnya. Sering juga memakai kerangka Muqadimah dan Khatimah. Kitab-kitab Kuning tidak menggunakan harakat, sehingga biasa disebut juga dengan kitab gundul. Dan yang unik, kitab-kitab kuning pada umumnya tidak menggunakan tanda baca yang lazim seperti titik, koma, titik dua, tanda tanya dan seterusnya. Susunan kata Subyek dan Predikat, sering dipisah dengan “jumlah mu’taridhah” yang cukup panjang tanpa di tanda-tanda tertentu. Ciri inilah yang sangat memerlukan kecermatan dan ketrampilan agar pembaca memahami betul makna dan kandungannya dan bahkan dapat menginterpretasikan dan mengonotasikan secara luas.
Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren-pesantren itu disebut kitab kuning karena kitab-kitab tersebut. dicetak diatas kertas yang berwarna kuning meskipun sebagian dari kitab-kitab tersebut sekarang telah dicetak dengan kertas putih. Dicetak dengan warna apapun, kalau isinya sama, namanya tetap kitab kuning. Kitab jenis ini berisi ilmu-ilmu agama secara universal dan ilmu-ilmu yang menjadi sarananya, mulai Tafsir, Hadis, Usul fiqih, Tauhid, Tasawuf, Fiqih yang meliputi masalah-masalah ibadah, mu’amalah/ sosial, ilmu tata bahasa Arab, atau ilmu Nahwu Sorof, Sastera Arab, bahkan sampai ilmu filsafat, Logika, Kedokteran, Biologi, ilmu Falak/Astronomi dan lain-lain. Kitab yang merupakan produk budaya Islam ini adalah hasil kreasi para ilmuwan Islam yang memandu perjalanan sejarah umat manusia.
Kitab kuning ternyata tidak hanya dimiliki oleh orang-orang kalangan pesantran ataupun diajarkan di Pesantren saja, tetapi kini juga diajarkan diluar Pesantran. Dikalangan Jam’iyah NU misalnya, dalam acara rutian seperti Lilatul Ijtima’ dan semacamnya, pengajian kitab kuning juga menjadi sajian awal-awal diacara yang diselenggarakan setiap 5 pekan sekali oleh ormas Islam terbesar dinegeri kita itu. Bahkan kitab-kitab kuning juga mengisi rak-rak perpustakaan perguruan Tinggi Islam, seperti beberapa perpustakaan di Fakultas Syari’ah IAIN, kitab-kitab kuning disitu biasanya disandingkan dengan berbagai dirasah Islamiyah yang baru.
Kitab kuning merupakan kekayaan keilmuan hasil peninggalan ulama-ulama besar pada zamannya, baik dari negara-negara Arab maupun lainnya dan meliputi semua peninggalan intelektual ulama klasik, baik yang berediologi Aswaja maupun non Aswaja seperti Muktazilah, Jabariyah dan lain-lain. Namun kitab-kitab kuning yang diterima dikalangan pesantren adalah hasil seleksi ketat para ulama Nusantara dengan berpijak pada kerangka ideologi Aswaja.
Kitab jenis ini mampu menjadi guidence atau pedoman umat Islam seluruh dunia selama beberapa abad lamanya. Ia menjadi simbol kebanggaan umat. Dalam mengkaji masalah, kitab kuning selalu menjadi referensi utama. Pendapat-pendapat ulama yang ada dalam kitab-kitab ini selalu menjadi primadona dan solusi setiap masalah. Kontribusi inilah yang tak ternilai harganya yang membuat Islam kokoh pondasinya dengan cabang dan mata rantai yang menjulang keangkasa menampakkan cahaya menerangi kegelapan dunia.
Meski dipesantren jumlahnya hanya ratusan judul, namun sebenarnya, kitab kuning yang meliputi berbagai bidang keilmuan yang terdiri dari Matan ataupun Nadzam, Syarah dan Hasyiyah, berjumlah ribuan judul.
Belakangan ini ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa pelajaran fiqih dipesantren-pesantren yang ada sekarang ini, sebagian besar masih produk era Perang Salib, sehingga masih mempertentangkan negara Islam dengan negara bukan Islam. Era
Perang Salib mengusung tiga konsep negara, yaitu Darul Islam, Darul Harb (negara musuh) dan Darus Sulhi (negara yang tidak menganut Islam tetapi bersahabat).
Diantara ulama-ulama besar dari generasi awal yang telah menulis kitab-kitab fiqih sebelum terjadinya Perang Salib itu, antara lain ialah:
Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi (w. 270 H.), murid imam As Syafi’i dan penghimpun serta penulis berbagai pendapat dan tulisan gurunya itu yang ia kumpulkan dalam satu kitab yang diberinya judul “Al Umm”
Ismail bin Yahya Al Muzani (w. 270), murid As Syafi’i. Diantara kitab karyanya: “Al Mukhtashar” yang merupakan himpunan ucapan-ucapan dan pendapat-pendapat imam Syafi’i.
Ahmad bin Umar bin Suraij (w. 306 H) murid Al Muzani. Diantara karyanya: “Al Mukhtashar fil fiqhi”.
Abu Ishaq Ibrahim bin Muhamad Al Marwarzi (w. 264 H.). Diantara karyanya: “Syarhul Mukhtashar Al Muzani”.
Abu Ishaq Ibrahim bin Ali As Syairazi (w. 476 H). Diantara karyanya yang terkenal: “At Tanbih” dan “Al Muhadzab”.
Abdul Malik bin Abdillah yang dikenal dengan imam Al Haramain (w. 478 H). Diantara karyanya: “Nihayatul Mathlab, syarah Mukhyashar Almuzani”.
Didalam kitab-kitab ulama terdahulu tersebut. yang menjadi dasar dan rujukan para ulama penerus mereka itu, ternyata disitu sudah menuturkan pembagian negara menjadi tiga macam. Bahkan didalam kitabnya “Al Umm”, imam Syafi’i, juga menuturkan tiga macam negara, yakni “Darul Islam” ( negara Islam), “Darull Harbi” (negara musuh) dan Biladu Ahlis Shulhi” (negara orang-orang yang berdamai/tidak menganut Islam tetapi bersahabat).
Namun meski kitab fiqih membagi negara menjadi tiga macam tersebut, bukan berarti ajaran fiqih selalu hitam putih dalam menilai suatu persoalan, tetapi senantiasa amat longgar dalam melihat sudut pandang, sehingga negara seperti Indonesia ini menurut kitab fiqih Pesantren masih dikategorikan sebagai Darul Islam yang kemudian dijadikan referensi dalam keputusan Muktamar NU ke 11 di Banjarmasin 9 Juni 1936.
*Jika artikel di Website Bintang Songgo dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin.*
Post A Comment:
0 comments:
Posting Komentar